Oleh: Miqdad Husein
Masyarakat dikejutkan video pelaksanaan sholat tarawih yang didahului menyanyikan lagu Indonesia Raya, di sebuh masjid yang sampai saat ini belum jelas lokasinya. Pada video berdurasi sekitar dua menit tujuh detik itu tampak jamaah berdiri, dalam kondisi berbaris membentuk shaff layaknya akan melaksanakan sholat. Seorang yang kemungkinan merupakan iman sholat, sambil memegang kertas dan mic memimpin para jamaah menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Video yang beredar di media sosial itu, banyak mendapat komentar nyinyir dari netizen. Yang layak dicermati, praktek jauh dari kelaziman sholat taraweh dianggap sebagai bentuk peribadatan Islam Nusantara. “Tata cara sholat Islam Nusantara,” kata salah satu nitizen, mencibir.
Pertanyaannya, apa iya aktivitas itu sebagai gaya peribadatan Islam versi Islam Nusantara? Bagaimana dari sudut pandang fiqih, pelaksanaan sholat taraweh didahului menyanyikan lagu Indonesia Raya, di dalam masjid.
Pertanyaan kedua dan ketiga bisa memancing perdebatan dan sangat mungkin memunculkan berbagai penafsiran. Secara fiqih, dalam pandangan selintas memang tidak ada masalah. Sebab pelaksanaan menyanyi di luar aktivitas sholat taraweh. Artinya, tak ada percampuran antara sholat taraweh dan menyanyikan lagu.
Masalah baru muncul ketika menyanyi dikumandangkan di areal untuk melaksanakan sholat. Apalagi pelaksanaan nyanyi walau terpisah -berurutan dengan pelaksanaan sholat taraweh sehingga terkesan menjadi bagian dari ritual sholat taraweh. Jadi, menyanyikan lagu Indonesia Raya, pada konteks ini diduga merupakan rangkaian aktivitas yang sudah dipersiapkan. Jelas, menjadi ketaklaziman serius.
Pertanyaan mendasarnya, apakah ini Islam Nusantara? Selalu sejak muncul Islam Nusantara, berbagai kegiatan peribadatan aneh-aneh dianggap sebagai tata cara Islam Nusantara. Sebuah “vonis” yang sebenarnya sama sekali tidak berdasar.
Seperti Islam Berkemajuan Muhammadiyah, Islam Nusantara tak lebih dari penegasan identitas kepemelukan keislaman bersemangat keindonesiaan. Bukan sebuah agama baru atau mashab keislaman baru, yang keluar dari arus utama ajaran Islam.
Dalam berbagai penjelasan yang disampaikan oleh Mantan Ketua Nahdatul Ulama KH. Said Aqil Siraj, Islam Nusantara bukanlah agama baru, bukan Islam baru. Islam Nusantara lebih sebagai karakter kepemelukan, yang sejalan perilaku keseharian masyarakat Indonesia yang sangat ramah. Tidak mudah marah, jauh dari karakter konflik.
Untuk mempertegas apa Islam Nusantara, diperbandingkan kepemelukan ummat Islam di kawasan Timur Tengah. Di sana, masyarakat muslimnya dianggap mudah terjebak konflik, perang saudara, hanya karena perbedaan paham dan pilihan politik misalnya. Di Indonesia, karena masyarakatnya ramah, lembut, keislaman tidak mudah memunculkan konflik atau perseteruan.
Syahadatnya, ya sama. Sholat, puasa, haji dan zakatnya sama. Tak ada yang berbeda dengan ajaran Islam, yang ada di manapun. Yang membedakan adalah karakter kepemelukan masyarakatnya, yang lebih ramah, lebih lembut.
Asbabun nuzul atau latar belakang Islam Nusantara sangat jelas. Lebih sebagai respon terhadap sebagian kalangan penganut Islam di negeri ini, yang cenderung bersikap radikal, mengikuti keislaman gaya Timur Tengah, yang dikit-dikit marah, gampang terjebak konflik, saling menyalahkan.
Terhadap berbagai aktivitas budaya Indonesia, Islam Nusantara lebih bersifat akomodatif dan tidak konfrontatif. Jauh dari sikap sedikit-dikit menganggap wayang haram, kue klepon dianggap tidak Islami dan hal-hal lainnya. Jadi, interaksi dengan budaya lokal meneruskan semangat para Wali Songo, akomodatif terhadap berbagai budaya, yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Islam Berkemajuan Muhammadiyah secara subtansi semangatnya sama dengan Islam Nusantara. Berkemajuan di sini sebagai ciri intelektual, cendikiawan yang terbuka terhadap gagasan pemikiran baru, menghargai perbedaan pendapat, serta tidak terperangkap dalam pengerasan kelompok. Tidak ada format atau fiqih baru Muhammadiyah sejak penegasan mengembangkan Islam Berkemajuan.
Karena itu jika benar ada sholat taraweh diawali lagu Indonesia Raya, tak ada kaitan dengan Islam Nusantara NU apalagi Islam Berkemajuan Muhammadiyah. Apa yang terjadi jika kemudian disangkut pautkan dengan Islam Nusantara jelas merupakan kesalahan persepsi ataupun pemahaman. Islam Nusantara, ya Islam yang sama seperti di manapun. Bukan ditambahi hal-hal yang di luar peribadatan atau merobah cara peribadatan dicampur baur dengan aktivitas budaya baik langsung maupun tak langsung seperti kasus taraweh diawali lagu Indonesia Raya.
Harus diakui sering berbagai fitnah muncul melalui editan video dan gambar peribadatan nyeleneh seperti baca salawat sambil bergoyang, lalu dituding sebagai praktek Islam Nusantara. Bisa jadi ini bagian dari perlawanan mereka yang demikian semangat mengembangkan keislaman bergaya Timur Tengah.
Nahdatul Ulama agaknya perlu lebih memberi pencerahan dan pemahaman bahwa Islam Nusantara tidak merobah dan mengutak-atik peribadatan. Islam Nusantara hanya sebuah langgam, karakter kepemelukan Islam, yang sejalan watak masyarakat Indonesia, yang terkenal sangat ramah, bersahabat, tidak mudah marah, tidak gampang terjebak konflik hanya karena perbedaan-perbedaan apapun. Demikian pula Islam Berkemajuan Muhammadiyah, lebih sebagai penegasan nilai penting intelektualitas dan kecendikiawanan dalam menghadapi dinamika kehidupan dan bukan justru terperangkap pengerasan kelompok.
Baik Islam Berkemajuan maupun Islam Nusantara, merupakan watak keislaman, yang saat ini perlu disegarkan kembali, ketika masyarakat sempat terperangkap keterbelahan berpotensi konflik hanya karena perbedaan pilihan politik.
Penting keislaman keindonesiaan menguat sebagai identitas budaya, perilaku dan kehidupan keseharian sehingga terwujud Islam rahmatan lil alamin, yang membawa kedamaian dan ketentraman.