Oleh : Miqdad Husein
Kepergian Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif menghadap Sang Pencipta, Jumat, tanggal 27 Mei, meninggalkan duka mendalam bagi Muhammadiyah dan negeri ini. Jejak-jejak almarhum hampir sepanjang hidup sungguh sangat luar biasa dalam memberikan energi moral pada negeri ini. Ia, tak pernah lelah meneriakkan nilai kemanusiaan dan keindonesiaan.
Keyakinan keislamannya sejalan tujuan utama agama Islam untuk mewujudkan rahmatan lil alamin.
Bukan hal luar biasa jika Syafii Maariif disebut manusia lintas batas, yang mencairkan sekat-sekat keanekaragaman keyakinan keagamaan tanpa sedikitpun kehilangan ketaatan keyakinannya.
Semangat mengembangkan keindonesiaanpun menempatkannya sebagai pengawal moral keutuhan NKRI.
Ia, walau pernah menempati posisi puncak di Organisasi Muhammadiyah, tak hanya berbicara tentang bagaimana seharusnya Muhammadiyah menjadi bagian penting menjaga keutuhan NKRI. Keyakinan keislamannya ia pancarkan dalam perjuangan mewujudkan nilai kemanusiaan dan keindonesiaan kepada seluruh kekuatan anak bangsa. Beberapa pesan tokoh yang akrab dipanggil Buya Syafii itu langsung menyentuh subtansi masalah kemanusiaan dan keindonesiaan, tanpa tedeng aling-aling.
Ia, misalnya tanpa ragu mengingatkan tentang peran Muhammadiyah dan NU, yang diharapkan menjadi tenda besar bangsa dan negara.
“Muhammadiyah dan NU mesti bergandengan tangan untuk menjaga keutuhan Indonesia dari segala macam tangan perusak, termasuk dari mereka yang memakai bendera agama,” katanya.
Sebuah pesan, yang mengingatkan kepada Almarhum KH. Hasyim Muzadi, yang menggambarkan NU-Muhammadiyah seperti sepasang sandal, yang tak dapat dipisahkan. KH. Hasyim Muzadi meyakini bahwa tak ada persoalan di negeri ini yang tak dapat terselesaikan jika NU dan Muhammadiyah tetap beriringan seperti sepasang sandal. Tentu, baik Syafii Maarif maupun Hasyim Muzadi, tidak bermaksud mengecilkan ormas lainnya. Keduanya, hanya sekedar mengingatkan bahwa Muhammadiyah dan NU, mewakili arus utama Islam Indonesia, yang harus menancapkan jangkarnya di samudra Nusantara, sedalam-dalamnya.
Sebuah penegasan tentang urgensi kebersamaan dua ormas Islam terbesar itu.Dengan penuh kearifan beliau mengingatkan agar energi Muhammadiyah dan NU jangan terkuras habis untuk memburu kepentingan pragmatisme jangka pendek. Islam, katanya lagi, terlalu besar dan mulia jika hanya dijadikan kendaraan duniawi yang bernilai rendah.
“Dua kubu santri ini, dalam kaitannya dengan masalah kenegaraan mesti mengubah paradigma berpikir untuk tidak lagi terjebak berebut lahan dalam kementrian tertentu yang dapat mempersempit langkah besar ke depan,” katanya.
Peringatan agar menjauh dari perangkap persoalan ecek-ecek itu, bukan tanpa dasar. Seperti pernah pula disinggungnya, riak-riak kecil tentang gairah berlebihan menggarap lahan kementrian sesekali muncul. Karena itu perlu selalu diingatkan dan disadarkan agar tidak mengganggu keserasian langkah ‘sepasang sandal’ itu. Beliau secara tegas mengingatkan bahwa ada tugas besar luar biasa dari NU dan Muhammadiyah yaitu menjadi benteng utama untuk membendung infiltrasi ideologi yang telah kehilangan perspektif masa depan untuk Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan.
“Apabila benteng Muhammadiyah dan NU jebol ditembus infiltrasi ideologi impor dengan teologi kebenaran tunggal, maka integrasi nasional Indonesia akan goyah dan oleng. NU dan Muhammadiyah sebagai arus besar komunitas santri harus awas dan siaga menghadapi segala kemungkinan buruk itu,” katanya lagi.
Sangat jelas pesan beliau yang selalu dikumandangkan dalam kesempatan apapun. Sebuah pesan yang menegaskan di mana posisi Ahmad Syafii Maarif di negeri ini. Sebuah posisi, yang sudah pasti menempatkan beliau dalam resiko besar sebagai sasaran tembak kekuatan yang ingin merusak kedamaian negeri ini, yang mengunakan -terutama baju agama. Ia sangat tegas menempatkan diri pada posisi pemikiran dan perjuangan mewujudkan keislaman adalah kemanusiaan dan keindonesiaan. Adalah Syafii Maarif, yang secara tegas dan konsisten dengan pijakan keyakinan dan pemikirannya itu berani menghadapi berbagai pemikiran yang memaksakan ideologi keagamaan kebenaran tunggal. Tanpa ragu beliau selalu mengingatkan bahwa ideologi yang berasal dari luar Indonesia itu secara faktual telah menjadi barang rongsokan di berbagai tempat meninggalkan jejak nestapa konflik, darah dan air mata. Merupakan ironi memaksakan ideologi yang telah terbukti gagal untuk diterapkan di negeri ini.
Jelas, tegas dan lugas di mana Ahmad Syafii Maarif berdiri untuk kepentingan negeri ini, sehingga siapapun dapat mengetahui dan memahaminya. Ia tidak berbicara melingkar-lingkar layaknya politisi. Ia seperti kata Ki Hajar Dewantoro selalu ing ngarso sung tulodo, ‘menjadi contoh’ dan bukan memberi contoh saja sebatas retorika, melalui kesederhanaan dan kebersahajaan kehidupan kesehariannya. Selamat jalan Buya Syafii, kami yakin apa yang selalu diperjuangkan selama ini merupakan energi besar, ikhtiar menjaga keutuhan dan kedamaian negeri ini.