JAKARTA, Koranmadura.com – Mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla mengibaratkan partai-partai politik pada 2022 ini sebagai pemuda dan pemudi yang sedang mencari pacar. Mereka akan mencari dan memilih pasangan terbaik untuk diajukan pada pemilu presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2024.
Tahun depan, 2023, partai-partai politik itu tinggal melakukan pemantapan dengan pasangan masing-masing untuk “diakadnikahkan” pada Pilpres 2024.
“Jadi kalau kita bisa bagi, tahun ini tahun romantis, tahun 2023 pemantapan, dan 2024 memilih. Kenapa romantis? Karena sama dengan orang pacaran. Semua cari pasangan yang cocok memenuhi syarat lobi cari pasangan, jadi ini tahun cari pasangan,” kata Jusuf Kalla dalam pidatonya di acara seminar kebangsaan Rakernas Partai Nasdem di Jakarta, Kamis 16 Juni 2022.
Jusuf Kalla menilai, tahun paling rumit yang dihadapi semua partai politik menjelang pesta demokrasi 2024 adalah pada 2022 ini. Pasalnya, mereka harus memastikan memenuhi syarat threshold untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres.
Undang-undang Pemilu menetapkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang berhak mengajukan pasangan capres-cawapres adalah mereka yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara nasional pada pemilu sebelumnya.
Ketentuan ini dinilai Jusuf Kalla sangat berat dan tidak mudah dipenuhi oleh partai-partai politik. Menurut Jusuf Kalla yang menjadi wakil presiden dalam dua periode pemerintahan, masa kampanye dan pemungutan suara bukanlah fase tersulit.
Selain itu, partai-partai politik juga harus mencari capres-cawapres yang layak jual dan laku di masyarakat. Sebab ada partai yang tidak memiliki calon dengan elektabilitas yang memadai. Sebaliknya ada figur yang mempunyai elektabilitas mumpuni, tetapi tidak memiliki partai sebagai kendaraan politik.
“Inilah suasana paling sulit keadaan ini, bukan kampanyenya yang sulit tapi tahun ini yang rumit. Itu karena threshold terlalu tinggi 20 persen. Jadi pencari menjadi 20 persen partai yang sama dan agak khas tahun ini, partai-partai yang katakanlah menengah ke atas itu memenuhi syarat tetapi calon yang diajukan elektabilitas rendah,” tuturnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, “Yang punya elektabilitas tinggi tapi tidak ada partainya. Jadi bagaimana menggabungkan dua hal ini elektabilitasnya tinggi, partainya cukup. Inilah justru karena itu saya katakan yang mengambil peranan nanti bukan partai besar tapi partai menengah.” (Carol)