JAKARTA, Koranmadura.com – Para kader Partai Demokrat di sejumlah daerah menilai partai mereka tidak demokratis dalam memilih pimpinan daerah. Bahkan mereka menilai partai itu antidemokrasi.
Itu terjadi karena pemilihan ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tidak dilakukan lewat mekanisme yang demokratis, tetapi ditunjuk oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dengan cara fit and proper test atau uji kepatutan dan kelayakan.
Kebijakan ini menimbulkan kekacauan dan gejolak di sejumlah daerah seperti di Riau, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sulawesi Setalan. Kader-kader di daerah itu pun membakar atribut partai dan beberapa meninggalkan Partai Demokrat.
Di Riau, misalnya, Musyawarah Daerah (Musda) Partai Demokrat berakhir ricuh karena 12 Dewan Pengurus Cabang (DPC) memilih Agung Nugroho sebagai Ketua DPD untuk menggantikan Asri Auzar. Padahal, Musda ini terkesan dipaksakan DPP karena belum waktunya digelar.
Ketidakpuasan kader di sana dengan digantikannya Asri Auzar membuat mereka membakar atribut partai dan beramai-ramai meninggalkan Partai Demokrat.
Kasus serupa terjadi di NTT. Musda DPD Partai Demokrat NTT juga diwarnai kericuhan hingga membakar atribut partai.
Tindakan ini lahir sebagai protes atas penunjukan Leonardus Lelo sebagai Ketua DPD Partai Demokrat NTT menggantikan Jefri Riwu Kore.
Sementara di Makasar, kader Partai Demokrat Sulawesi Selatan memilih meninggalkan partai berlambang Mercy itu.
Itu terjadi karena DPP lebih memilih Ni’matullah sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Sulawesi Selatan. Padahal, DPC seluruh Sulawesi Selatan menginginkan Ilham Arief Sirajuddin sebagai Ketua DPD.
Sebagai bentuk protes, Ilham Arief Sirajudin meninggalkan Partai Demokrat karena sakit hati dan bergabung kembali dengan Partai Golkar.