Oleh: Miqdad Husein (*)
Dalam sebuah perjamuan dari seorang teman tergolong memiliki kelebihan ekonomi, ada satu suguhan agak lain. Jika suguhan lain berupa kue diletakkan di atas piring; kopi dan teh seperti biasa menggunakan gelas, suguhan ‘aneh’ itu berbentuk kemasan cantik, berbungkus rapi.
Awalnya, mereka yang hadir kurang peduli, sampai tuan rumah kemudian mempersilahkan untuk membuka kemasan. Dengan ramah tuan rumah -sambil mempersilahkan- menjelaskan bahwa makanan tersaji dalam bentuk kemasan itu, merupakan oleh-oleh dari seorang teman yang berkunjung ke Jepang. “Itu kulit ikan, yang digoreng dengan baluran telur, yang mirip adonan dadar,” jelasnya, untuk memancing keinginan agar segera dicicipi.
Penjelasan tuan rumah mendorong sebagian untuk meraih dan membuka makanan dalam kemasan. Ternyata memang kulit ikan tipis, yang dibalut -untuk tidak disebut dicampur- adonan telur. Rasanya memang enak, gurih dan renyah sehingga para tamu yang berusia relatif tuapun, yang giginya mulai rapuh dapat menikmati.
Apakah suguhan itu istimewa? Tidak juga. Bagi mereka, yang pernah berkunjung ke wilayah III Cirebon, khususnya kawasan Kota dan Kabupaten Cirebon serta Indramayu tidak akan terkejut dengan suguhan kulit ikan dari Jepang itu. Pasalnya, ternyata yang berada di dalam kemasan cantik dan menggoda bukan barang aneh dan telah menjadi bagian dari cemilan keseharian di Cirebon dan Indramayu. Juga daerah pinggir pantai lain.
Dari segi rasa, produk kulit ikan yang lokal khas daerah pesisir Jawa Barat lebih enak dan gurih. Kerenyahanpun tak kalah. Demikian gurih bahkan bisa jadi pelengkap seperti kerupuk saat menikmati hidangan berat.
Apa yang berbeda secara mencolok? Ternyata hanya pada kemasan cemilan. Produk Jepang, dikemas sangat menarik, indah dilihat serta higienis karena tertutup rapat, layaknya kemasan kentang goreng, keripik singkong dan makanan kecil lainnya, yang biasa ditemukan di mini market.
Bagaimana yang produk lokal home industry? Sekalipun rasa sebenarnya lebih gurih dan enak, kemasan memang sangat jauh. Produk lokal, yang sering dijajakan pedagang kaki lima itu, bukan hanya bentuk kalah menarik, kemasan seadanya. Hanya plastik sehingga ketika dilihat tidak cukup menggoda.
Jadi, hanya berbeda ‘baju’ sedang makanan sama hingga hargapun akhirnya bagai bumi dan langit. Yang satu hanya seribuan, yang produk Jepang, puluhan ribu.
Kasus perbedaan kemasan seperti kulit ikan ini, memang terkesan sederhana. Namun sebenarnya memperlihatkan tentang menejemen produksi yang berbeda jauh. Yang satu dikelola sederhana, satunya dikelola profesional sehingga bernilai ekonomi tinggi. Padahal, hanya menggunakan teknologi sederhana, yang untuk dikawasan Plered Cirebon, yang terkenal sebagai pusat cemilan bukan hal istimewa. Lalu, apa artinya?
Bukan soal inisiatif produsen rumahan, tapi lebih pada perlunya peran pembinaan pemerintah daerah setempat. Bagaimana memberikan masukan pemikiran mengolah produk, sehingga menjadi barang bernilai ekonomi jauh lebih tinggi.
Bahan sudah ada hampir di seluruh kawasan negeri ini, yang memiliki garis pantai, yang hanya kalah dari Kanada. Itu artinya, bahan baku ikan, bukan masalah. Siapapun bisa memperoleh dengan mudah. Tinggal pengelolaan.
Banyak kasus sejenis dapat ditemui dengan mudah di negeri ini. Bahan mentah melimpah tapi pengelolaan kurang kreatif, sehingga nilai ekonomi tetap rendah. Contohnya ketela rambat, ubi jalar, yang dibeberapa daerah melimpah ruah, namun karena tidak dikelola dengan baik menjadi tidak berharga. Padahal, di berbagai negara, yang dikelola dengan baik, seperti kasus kulit ikan, menjadi bernilai ekonomis sangat menggiurkan.
Presiden Jokowi, sangat konsen pada persoalan pengelolaan produk hasil bumi dan kekayaan alam di negeri ini. Contoh paling aktual hasil alam nikel, yang oleh Presiden Jokowi, kini dilarang diekspor mentah dan mulai diupayakan dikelola menjadi barang siap pakai seperti berbentuk battery, yang nilai ekonominya sangat jauh berbeda.
Inisiatif, perhatian dan dorongan semangat serta kemudahan memperoleh modal. Itu yang diperlukan agar kasus sejenis kulit ikan, ketela, tidak lagi terjadi. Apalagi teknologi yang diperlukan sangat sederhana. Perlu kehadiran pemerintah, pemerintah daerah lebih serius lagi, agar kekayaan alam dan hasil bumi negeri ini dapat memberikan nilai ekonomi semaksimal mungkin, sehingga makin meningkatkan kesejahteraan rakyat. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.