JAKARTA,koranmadura.com-Badan Anggaran (Banggar) DPR dan Pemerintah menyepakati postur makro fiskal 2023. Beberapa indikator dari usulan rencana kerja pemerintah (RKP).
Nantinya, kesepakatan ini menjadi dasar pemerintah untuk menyusun Undang-Undang APBN dan Nota Keuangan 2023.
“Kalau asumsi makro kita putuskan, belum tentu seperti itu di nota keuangan karena dinamikanya luar biasa. Terhadap berbagai hasil Panja A, B, C, D apakah disetujui?,” kata Ketua Banggar Said Abdullah dalam Rapat Kerja bersama pemerintah dan Bank Indonesia (BI), Jakarta, Senin (27/6).
Asumsi makroekonomi yang telah diputuskan ini berpotensi berbeda dengan yang akan ada dalam Undang-Undang APBN dan Nota Keuangan 2023 mengingat dinamika global masih membayangi perekonomian.
Pendapatan negara 2023 menjadi 11,19%-12,24% dari produk domestik bruto (PDB) yang berbeda dari usulan awal dalam RKP sebesar 11,19-11,7% terhadap PDB.
Pendapatan negara meliputi penerimaan perpajakan yang disepakati 9,3-10% terhadap PDB dari yang semula 9,3-9,59% terhadap PDB.
Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) disepakati sebesar 1,88-2,22% terhadap PDB dari semula dalam RKP sebesar 1,88-2,08% terhadap PDB.
Untuk hibah masih sama antara usulan dalam RKP maupun kesepakatan Panja DPR yaitu 0,01-0,02% terhadap PDB.
Sementara untuk belanja negara disepakati 13,8-15,1% terhadap PDB yang meningkat dari usulan awal 13,8-14,6% dari PDB.
Belanja pemerintah pusat menjadi 9,85-10,9% PDB dari 9,85-10,54% PDB dan transfer ke daerah 3,95-4,2% PDB dari 3,95-4,06% dari PDB.
Selanjutnya untuk keseimbangan primer disepakati 0,46-0,6% terhadap PDB dari usulan semula sebesar 0,46-0,61% PDB.
Target batas atas defisit pun disepakati turun oleh DPR dan pemerintah yakni sebesar 2,61-2,85% terhadap PDB dari sebelumnya 2,61-2,9% terhadap PDB dalam RKP.
Untuk pembiayaan disepakati 2,61-2,85% terhadap PDB dari sebelumnya 2,61-2,9% PDB meliputi SBN netto 2,93-3,95% PDB dari sebelumnya 2,93-4,1% terhadap PDB, investasi neto 0,32-1% dan rasio utang 40,58-42,35% terhadap PDB dari sebelumnya 40,58-42,42% terhadap PDB.
Sementara itu, indikator pembangunan ini meliputi aspek percepatan pemulihan ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi yang disetujui sebesar 5,3-5,9 persen yang sama dari usulan pemerintah melalui dokumen KEM PPKF.
Aspek percepatan pemulihan ekonomi pun termasuk tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang disetujui sebesar 5,3-6%. Artinya, masih sama dengan usulan RKP.
Untuk rasio gini disetujui sebesar 0,375-0,378, sedangkan penurunan emisi gas rumah kaca secara kumulatif sebesar 27,02% yang juga sama seperti dalam dokumen usulan pemerintah.
Indeks pembangunan manusia (IPM) dan tingkat kemiskinan juga telah disepakati. IPM sebesar 73,31-73,49, sedangkan tingkat kemiskinan sebesar 7,5-8,5% yang keduanya sama dalam usulan pemerintah dalam usulan pemerintah.
Sementara, indikator yang berbeda dari usulan pemerintah adalah nilai tukar petani (NTP) dan nilai tukar nelayan (NTN) masing-masing disepakati sebesar 105-107 dan 107-108. Dalam dokumen KEM PPKF, pemerintah mengusulkan NTP 103-105 dan NTN sebesar 106-107.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan hasil hari ini akan menjadi bekal untuk menyusun RAPBN 2023.
Namun, pemerintah tetap terbuka dengan ketidakpastian yang masih sangat tinggi.
“Jangan sampai kemudian karena kita terikat pada asumsi sementara situasi bergerak sangat cepat kemudian kita terikat sampai tahun depan. Dan kalaupun itu berubah nanti kita akan sampaikan di dalam nota keuangan dan selalu kita jelaskan dan kita bahas dengan RAPBN,” ucapnya.
Waspadai Stagflasi dan Inflasi
Dalam kesempatan yang sama, Bank Indonesia (BI) mengingatkan risiko stagflasi global masih akan membayangi ekonomi Indonesia ke depan, meskipun telah banyak pemeringkat internasional yang masih sangat yakin dengan ekonomi di Tanah Air.
“Kami melihat situasi global ini masih sangat rentan sekali sehingga memang asumsi makro kita masih sangat rentan,” kata Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti.
Ia menegaskan BI akan sangat berfokus kepada inflasi yang tahun ini kemungkinan akan melewati target 2-4%, yakni di atas 4%. Namun, inflasi akan kembali ke target pada 2023 yakni dalam 2-4%.
Oleh karena itu, BI akan terus mewaspadai tekanan inflasi ke depan, khususnya dari inflasi harga bergejolak dan dampak pada ekspektasi inflasi
“Dalam hal ini kami akan gunakan seluruh kebijakan yang kami miliki, termasuk penyesuaian suku bunga apabila terdapat tanda-tanda kenaikan inflasi inti,” ucap Destry.
Ia mengatakan saat ini inflasi inti masih berada dalam kisaran 3,6% dan BI akan terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah melalui Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID).
Selain itu, fokus bank sentral lainnya saat ini adalah nilai tukar rupiah yang saat ini sedang mengalami tekanan cukup tinggi.
(GATTI)