Oleh : Miqdad Husein
Heboh rendang babi, menjadi bukti tentang ironi pada sebagian masyarakat. Terkesan terlalu bawa perasaan alias baper, kata anak muda masa kini. Apa masalahnya, seseorang berdagang rendang dari bahan daging yang dianggap akan laku pada kalangan tertentu; masyarakat non-muslim.
Sebenarnya soal rendang daging babi ini kasus lama, sekitar dua tahun lalu. Entah atas kepentingan apa kok tiba-tiba diangkat kembali antara lain oleh seorang anggota DPR dari PAN. Juga, oleh seorang praktisi media sosial Helmy Felis. Itu ironi pertama.
Lalu, apa yang salah ketika seseorang berdagang rendang babi. Apa beda dengan rendang ayam, rendang telur, rendang burung.
“Rendang itu kan makanan khas restoran Padang, makan khas Minangkabau yang dijamin halal. Kok tiba-tiba ada rendang babi,” kata beberapa nitizen.
Benar, rendang itu memang masakan khas Minangkabau, yang selama ini menggunakan daging sapi, sehingga dijamin halal. Jika, ada yang ingin membuat rendang dari bahan di luar sapi, kan merupakan pilihan selera dan kepentingan. Termasuk pertimbangan kepentingan bisnis ketika seseorang mungkin merasa ada pangsa pasar yang belum tergarap, yaitu kalangan non-muslim. Pengusaha berpenciuman tajam ini berpikir, belum ada rendang babi, kesukaan masyarakat non-muslim. Lalu, dia buat rendang babi. Selesai. Apa masalahnya?
Lho, rendang kan masakan khas Minangkabau, yang dijamin halal?” kata nitizen lain. Dijamin halal? Ya ngak lah. Tergantung siapa pembuat dan bahannya. Bumbu rendangpun bisa tidak halal, kalau saat menumis menggunakan minyak babi. Apalagi, bahan yang akan dimasak. Kalau daging sapi bukan hasil sembelian sesuai syar’i dijadikan rendang kan jadi haram.Itu menurut tata cara penyembelian ummat Islam. Bagi masyarakat non-Islam, ya halal.
Bumbu rendang itu, bahan dasarnya memang halal. Dalam perjalanan bisa berobah. Itu tadi, jika saat memasak ditumis menggunakan minyak babi, bisa jadi rendang haram. Jika bahan baku menggunakan daging babi jadi rendang haram. Jika menggunakan daging sapi bukan hasil sembelian syar’i juga jadi haram. Semua tergantung siapa yang mengolah dan menggunakan bahan apa.
Siapa yang menjamin kehalalan rendang? Tergantung pembuat dan penjualnya. Tidak ada pembeli dan penikmat rendang yang mengetahui rinci ketika makan di restoran. Masyarakat hanya berasumsi dan berpikir karena dijual di restoran Padang, rendang dijamin halal. Itu yang berlaku sampai hari ini.
Bagaimana jika tiba-tiba ada yang membuat rendang dari babi dan dijual belikan terbuka? Ngak masalah asal bersikap terbuka. Yang jadi masalah justru, yang menjual rendang atau apa saja, yang berbahan haram, tanpa bersikap terbuka, biasanya beralasan ketakutan kehilangan pasar alias pembeli berkurang. Ini terutama terjadi di tengah masyarakat mayoritas muslim.
Masyarakat muslim di Indonesia seharusnya memberikan apresiasi kepada pedagang yang terbuka mengatakan dagangannya berbahan baku haram. Itu menunjukkan niat baik, memberitahu masyarakat muslim, agar jangan membeli atau tak sengaja membeli. Ia bersikap jujur, dengan resiko kehilangan pembeli.
Bandingkan dengan pedagang yang diam-diam menggunakan daging babi sehingga banyak ummat Islam tanpa menyadari membeli dan menikmatinya. Ini pernah terjadi, ketika seorang pedagang siomay menggunakan nama Siomay Cu Nyuk, sama sekali tak mencamtumkan bahwa daganganya, berbahan baku babi. Banyak anak-anak muslim, berpakaian hijab menikmati tanpa menyadari karena tidak diberitahu siomay itu berbahan baku babi. Nah, yang begini ini justru harus ditindak karena menipu. Sama persis dengan mereka yang menjual daging celeng, tapi berteriak seakan daging sapi.
Banyak dalam kehidupan keseharian makanan menggunakan bahan baku babi. Namun, tidak disadari oleh masyarakat muslim karena menggunakan nama asing seperti Siomay Cu Nyuk tadi. Ada lagi Dwaeji, daging babi dalam bahasa Korea, Tonkatsu, Nibuta, hidangan Jepang yang semuanya berbahan baku babi. Dan masih banyak lagi. Sayangnya, para pedagang itu, tidak mencamtumkan berbahan babi sehingga banyak ummat Islam, tidak menyadari menikmatinya.
Ummat Islam tidak perlu khawatir, seperti masyarakat Hindu Bali, menganggap biasa, pedagang yang mencamtumkan secara terbuka dagangannya halal. Misalnya menyebut sebagai warung muslim, jual lauk daging sapi yang bisa jadi termasuk yang dilarang dimakan oleh sebagian masyarakat Hindu. Semua pada akhirnya tergantung para pembeli sendiri setelah melihat dan membaca pemberitahuan bahwa yang dijual berbahan baku babi.
Kejujuran dan keterbukaan kuncinya. Seharusnya, mereka yang bersikap terbuka mendapat apresiasi. Jangan dihalang-halangi. Ia memperlihatkan sikap sportif berdagang dengan tetap melindungi konsumen yang memiliki keyakinan agama, tidak boleh menikmati dagangnya. Hebat kan? Ia berani kehilangan pangsa pasar karena bersikap jujur dan terbuka.
Rendang itu terkenal sebagai makanan terenak di dunia. Itu akan beresiko akan dibuat dimanapun. Termasuk di luar Indonesia. Artinya, sangat mungkin di luar sana, rendang dibuat dari babi, onta, celeng, kelinci, kadal, buaya, biawak dan lainnya. Apakah itu masalah bagi masyarakat Minangkabau, juga bagi ummat Islam? Masalah, jika pedagang yang menjual tidak bersikap terbuka alias diam-diam. Jika terbuka menjelaskan bahan bakunya, tergantung sikap ummat Islam sendiri.
Sibuk hal-hal elementer ini jadi ingat pernyataan Bung Karno. “Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik di dalam tuan punya pikiran, maka tidak banyak orang yang menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asam pun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir!” tulis Sukarno dalam salah satu edisi dalam ‘Pandji Islam.’
Bung Karno mungkin akan tertawa jika tahu apa yang terjadi saat ini. Baru ada pengusaha dagang rendang babi saja sudah ribut.