Oleh: Abrari Alzael | Budayawan
Membaca buku, menelaah Indonesia dalam sejarah masa lalu. Negeri ini, waktu itu, begitu indah, natural sebagai bangsa yang keasliannya berada dalam genggaman semesta. Semakin ke sini, kian merasuk kisah yang modern, yang menenggelamkan waktu itu sendiri. Indonesia tempoe doeloe tak segemiricik angin, pada tiup udara. Indonesia, semakin jauh meninggalkan jejak yang asri, di mana pohon menjadi identitas rerimbunan loh jinawi, saat itu.
Kini, Indonesia kita, semakin melintasi artefak leluhur. Semua jejak hanya tinggal tutur, nostalgia, dan sedikit babak belur ditimpuk modernitas. Sebagai yang tidak lahir di jaman itu dan hadir hari ini, Indonesia sebagai karakter bangsa, nyaris tak terlihat; kecuali sisa peradaban yang bercampur dengan ketidakadaban. Indonesia yag ramah, berubah wajah menjadi pemarah. Satu warga dengan warga lainnya, seperti tidak saling kenal, untuk tidak menyebutnya bermusuhan. Padahal, satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air, adalah sumpah kita, bukan sampah kita.
Kembali menjelajah literasi, menemukan sejarawan Arnold Toynbee dalam magnum opusnya, volume 12, “A Study of History”. Runtuhnya peradaban, tidak bisa dihindari. Sejarah pada akhirnya hanya menunjukkan kemungkinan dari puing-puing masyarakat masa lalu. Peradaban besar tidak dibunuh, melainkan mereka mencabut nyawanya sendiri. Peradaban, kerapkali bersalah dalam kemundurannya sendiri. Namun, penghancuran peradaban biasanya didorong faktor lain.
Kekaisaran Romawi, sekedar menyebut contoh, adalah korban dari aneka penyakit peradaban, serupa ekspansi berlebihan, perubahan iklim, degradasi lingkungan dan kepemimpinan yang buruk. Tetapi Kekaisaran Romawi, baru jatuh ketika Roma diserang Visigoth pada tahun 410 dan Vandal pada 455. Keruntuhan terjadi dengan cepat, dan kebesaran tidak mendatangkan kekebalan. Wilayah Kekaisaran Romawi mencakup 4,4 juta km persegi pada tahun 390. Lima tahun kemudian merosot menjadi 2 juta km persegi. Pada 476, daerah kekuasaan kekaisaran adalah: nol.
Masa lalu yang panjang, ditandai kegagalan yang berulang. Sebagai bagian dari riset di Pusat Studi Risiko Eksistensial di Universitas Cambridge, ada usaha mencari tahu mengapa peradaban runtuh, dilihat dari otopsi historis? Apa yang bisa dikatakan tentang kita jika dilihat dari naik turunnya peradaban bersejarah? Kekuatan apa yang memicu atau menunda keruntuhan? Apakah kita melihat pola yang sama saat ini?
Runtuhnya peradaban sebentuk hilangnya populasi, identitas, dan kompleksitas sosial-ekonomi, secara cepat dan permanen. Layanan publik tak teratur, kekacauan terjadi ketika pemerintah kehilangan kendali atas monopoli kekerasan. Hakekatnya, hampir semua peradaban di masa lalu telah menghadapi nasib ini. Kadang, kota-kota di pusat keruntuhan dihidupkan kembali, seperti, Roma, Italia. Dalam kasus lain, misalnya reruntuhan maya, ditinggalkan sebagai kuburan, bagi wisatawan masa depan. Apa arti semua ini untuk masa depan peradaban modern-global? Apakah pelajaran dari kerajaan agraris bisa diterapkan pada periode pasca-kapitalisme industri?
Masyarakat di masa lalu dan saat ini hanyalah sistem rumit yang terdiri atas manusia dan teknologi. Teori “kecelakaan normal” menjelaskan bahwa sistem teknologi yang rumit bisa secara reguler membuka jalan menuju kegagalan. Jadi, keruntuhan mungkin merupakan fenomena normal bagi peradaban, terlepas dari ukuran dan tahapannya, walaupun, saat ini mungkin lebih maju secara teknologi. Tetapi itu bukan alasan untuk percaya bahwa negeri kebal dari ancaman yang melemahkan leluhur. Maka, ketika semua transaksi sudah terwakili secara digital, keadaban prilaku, artefak, dan kesejarahan berbangsa, ambruk! Orang-orang kembali mempelajari binatangisme yang angkuh, arogan, dan menjadikan diri dan orang lain sebagai serigala yang hadir untuk memangsa, atau dimangsa. (*)