Oleh: Abrari Alzael | Budayawan
Membayangkan, andai saja damai terjadi di mana-mana, mungkin, semesta terasa sejuk tanpa pertikaian. Tetapi sejarah, tidak menampakkan rindang, pada damai. Selalu saja terjadi perang, dari skala kecil, menengah, hingga pada level pera bisang besar. Bahkan perang di dalam ruangan mungil, kejadian perangnya, bisa lebih kolosal.
Ketika dirunut, pangkal dari perang adalah cara pandang dalam anggapan mempertahankan eksistensi yang diyakini benar. Masing-masing pihak, merasa benar dari perspektifnya masing-masing. Ketika kata sepakat tidak bisa disetujui, kedua, atau ketiga pihak semburat dari titik, lalu menyusun kekuatannya masing-masing sebagaimana Pribahasa Latin, sis vacem, para bellum, (bila mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang).
Pribahasa yang diyakini lahir dari pemikir strategi militer zaman Romawi ini, senantiasa menjadi argumen untuk berperang. Publius Flavius Vegetius Renatus, pada tahun 400 M, dari buku yang ditulisnya, De re Militari, dia berucap “Qui desiderat pacem, bellum praeparat“ (siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang). Tetapi, mungkin banyak yang lupa tentang satu kejadian, perang; Pasukan Hitler Jerman justru menyerbu Uni Soviet tak lama setelah kedua negara tersebut menandatangi perjanjian damai.
Stalin, sempat tak percaya bila ada serbuan pasukan Jerman. Kota indah di Rusia, St Peterburg negara Kekaisaran Rusia, dikepung pasukan Nazi. Sebuah catatan yang menuliskan, kota ini terkepung selama 882 hari oleh Jerman (September 1941 hingga 27 Januari 1944). Selama itu, Jerman gagal menguasai Rusia. Kegagalan Nazi merebut Rusia mirip ketidakberhasilan Prancis di zaman Napoleon yang juga terusir oleh rakyat Rusia, meskipun, ada juga yang menyebut pasukan Napoleon kalah karena mereka frustasi akibat musim dingin yang berkepanjangan. Salju, kala itu menjadi lebih tebal sehingga pasukan sulit melintas.
Serbuan mendadak Hitler ini diabadikan dalam film Attack of Leningrad. Dalam versi Hollywood yang lebih baru, Enemy at The Gate, dan banyak film sejenis lainnya. Kota St Petersburg seusai perang diganti dengan sebutan Leningrad. Rusia dibawah Stalin waktu itu sempat membanggakan diri dengan menganggap bahwa kemenangan mengusir Jerman karena restu Bapak Uni Sovyet, Lenin. Padahal, pada awalnya karena elitnya abai sebab mereka anggap Jerman itu tulus hati, seputih mata anak domba lantaran telah meneken perjanjian damai. Sementara, mereka tak sadar bahwa perang bisa terjadi kapan dan sebab apa saja.
Dari Rusia ratusan tahun silam, masuk ke dalam negeri, Indonesia. Hari ini, perang fisik, mungkin tidak terjadi. Yang ada, hanya kelompok KKB, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua yang berkontak dengan memakai senjata. Masalahnya, dimungkinkan, tidak ada kedamaian di sana, dan karena itu, kontak senjata dibutuhkan, untuk meraih sejuk pada dingin suasana. Tujuan akhirnya, damai; begitu mahal dan banyak korban, dari dulu, hingga kini. Berapa lama dan berapa banyak korban lagi yang akan jatuh di Papua?
Itu yang di Papua, bagaimana di tempat lain atau yang tidak nampak di permukaan? Perang, sekecil apapun. Di warung, perumahan, perkantoran, instansi yang berwenang, bahkan di lembaga yang mengelola perdamaian itu sendiri? Perang, tidak akan pernah berakhir. Ia akan berusia setara dengan umur manusia. Selagi manusia ada sebagai raga-jiwa yang menganut binatangisme, selama itu pula perang ada dengan cita-cita besar; perdamaian.
Problem yang harus dipahami sejatinya bukan perangnya, tetapi bagaimana cara mengelola konflik dan atau perbedaan itu sendiri. Poin terpenting, sebagaimana disampaikan Bapak Pluralisme, Abdurahman Wahid, Gus Dur, kemanusiaan. Manusia super itu saatmana kehadirannya bermanfaat terhadap manusia lainnya. Super itu bukan PMP, pren makan pren, bukan juga homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya. Istilah ini pertama kali dicetuskan dalam Asinaria karya Plautus (195 SM lupus est homo homini). Padahal, yang diinginkan adalah homo homini socius karya Seneca yang dicetuskan kembali oleh Thomas Hobbes dalam De Cive (1651).
Oleh karena perang agak sulit dihindari, maka butuh seni di dalamnya sebagaimana ditulis Sun Tzu. Meski buku ini The Art of War ini ditulis 500 tahun SM, tetapi narasinya masih layak direnungkan. “Pemenang mengetahui kapan harus bertarung dan kapan tidak harus berperang. Pecundang selalu bertarung (tidak mau lihat kondisi) dengan demikian sering berakhir dengan kekalahan. Orang bodoh memasuki pertempuran dan saat bertarung mulai berpikir tentang bagaimana cara menang. Ahli strategi tahu bagaimana mereka akan menang bahkan sebelum mereka mulai bertarung.” Kita termasuk yang mana? Selamat berperang dan bercermin!!! (*)