Oleh: Abrari Alzael | Budayawan
Beberapa waktu lalu, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo berpidato dalam Rakernas PDI Perjuangan, di Jakarta. Banyak hal yang disampaikan. Tetapi, ada tiga pesan penting yang sempat dicatat.
Pertama, dunia menghadapi ketidakpastian masa depan ekonomi menyusul terjadinya resesi. Kedua, terdapat 60 negara dunia yang akan mengalami kebangkrutan ekonomi. Ketiga, pasca 60 negara bangkrut, 42 negara lainnya menyusul. Apakah termasuk Indonesia, Presiden Joko Widodo tidak menyebutkannya. Bahwa Joko Widodo tidak mengatakan itu, dalam teori probabilitas, memiliki dua kemungkinan. Pertama, Indonesia masih tangguh dalam menghadapi krisis global. Kemungkinan kedua, Indonesia termasuk yang disebutkan tetapi tidak dikatakan. Bagaimana menafsir Indonesia, apakah termasuk atau tidak tergolong pada yang 60 negara atau 42 negara lainnya?
Tahun 2022, jumlah utang Indonesia sebesar kurang lebih 412 Miliar Dolar AS. Jumlah ini setara dengan Rp 6.171 Triliun. Jika utang luar negeri ini dibayar oleh seluruh rakyat Indonesia, maka kurang lebih, setiap jiwa urunan untuk membayar utang negara sebesar Rp 23 juta. Mengapa negara ini berutang?
Berbaik sangka saja lah bahwa semua jenis utang itu untuk kemaslahatan umat. Bahwa misalnya tidak sepenuhnya untuk kebaikan warga, pasti ada warga tertentu yang menikmatinya, walaupun, tanggungan utangnya, bisa dirasakan bersama-sama.
Sepintas, Indonesia, bak perusahaan besar. Di dalamnya, terdapat banyak SDM yang bekerja untuk kemajuan secara bersama sesuai prinsip dasar demokrasi. Tetapi, Indonesia sebagai big corporate, sepintas, hanya SDM tertentu saja yang mendapat keuntungan dari kerja bersama para pihak. Padahal, apabila sebuah perusahaan hanya memberi keuntungan pada orang-orang tertentu dan tidak memberikan keuntungan pada pihak lain di dalam perusahaan itu, dapat dipastikan perusahaan itu sedang tidak baik-baik saja. Sebuah perusahaan yang tidak baik-baik saja dan terus menerus-menerus seperti itu, ia hanya menunggu saja, untuk tumbang.
Negeri ini, semakin ke sini, sepertinya, semakin menyulitkan penghuninya. Bukan saja soal BBM dan harga bahan pokok lainnya yang naik harga. Tetapi kenaikan harga ini tidak berimbang dengan pendapatan warga. Ada trend, pendapatan warga yang berada di kelas paling bawah, selalu tidak berbanding lurus dengan kenaikan harga. Maka, kehadiran uang dalam perolehan warga, hanya besar bunyi dan saat dibelikan barang, tidak bisa menjangkau yang dibutuhkan. Bila kebutuhan dasar warga tidak bisa dipenuhi, dan ini berlangsung secara berkelanjutan, kehadiran warga di republik ini hanya menunggu, untuk rapuh, pada akhirnya.
Kesenjangan multidimensi ini, memicu nestapa, berpotensi terjadinya peningkatan penyalahgunaan kekuasaan hingga pada gilirannya, masyarakat kelas paling bawahlah yang semakin terisak. Krisis ini, seperti disampaikan presiden, tidak hanya terjadi di negeri ini, melainkan berlangsung di seluruh dunia. Bahkan sejumlah negara, telah porak-poranda karena utang.
Indonesia, didoakan warganya tidak (terancam) bangkrut menyusul Afganistan, Argentina, Mesir, Laos, Lebanon, Myanmar, Pakistan dan Turki. Hanya, melihat kekayaan negara yang tergerus karena satu hal maupun hal lain dan menguntungkan kelompok tertentu, dimana bangsa tertentu sudah menguasai sentra ekonomi bangsa ini, besar kemungkinan identitas bangsa ini akan berganti kelamin di jeda waktu, nanti, naudzubillah (*)