JAKARTA, Koranmadura.com – Ketua DPR Puan Maharani mengajak mahasiswa untuk melawan fenomena post-truth, yaitu era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran sebagaimana marak terjadi selama masa pandemi Covid-19. Cara melawannya dengan melakukan gerakan menghantam hoaks.
“Fenomena post-truth sudah seperti pandemi, dia menyebar secara cepat dan global, serta dapat menjangkiti siapa pun tanpa pandang bulu,” kata Puan Maharani saat menjadi pembicara dalam webinar internasional Prodi Psikologi Institut Agama Islam Negeri Syaikh Abdurrahman Siddik (IAIN SAS), Bangka Belitung, Kamis 14 Juli 2022.
Menurut Puan Maharani yang adalah Ketua DPR perempuan pertama, saat ini banyak terjadi orang dari kelompok masyarakat mana pun dan tingkat pendidikan apa pun dengan mudah terjangkit fenomena post-truth. Mereka, kata Puan, cenderung mengabaikan fakta dan etika dalam berpendapat dan lebih menyepakati hal-hal yang dekat dengan keyakinan pribadinya.
“Di dunia post-truth, yang berjaya adalah hoaks dan teori konspirasi yang tidak berdasar fakta tetapi tersebar dengan luas dan dipercaya banyak orang. Dan ketika ingin diluruskan malah bersembunyi di balik istilah ‘kebebasan berpendapat’,” sebut mantan Menko PMK itu.
Dewasa ini, lanjut Puan Maharani, banyak orang secara tidak sadar melakukan tindakan confirmation bias (bias konfirmasi) yang merupakan kecenderungan mencari bukti-bukti untuk mendukung pendapat atau kepercayaannya. Tindakan tersebut dilakukan dengan mengabaikan bukti-bukti empiris yang menyatakan sebaliknya.
“Bahkan tidak berlebihan jika kita mengatakan Indonesia sebenarnya masih dalam kondisi darurat hoaks. Sepanjang tahun 2021 saja, pemerintah menyebutkan sudah memblokir ratusan ribu konten di media sosial dan internet karena masuk dalam kategori hoaks,” paparnya lebih jauh dalam diskusi bertajuk ‘Fenomena Post-Truth Pada Masa Covid 19’ itu.
Puan Maharani lebih lanjut menyebut, era post-truth mengambil energi dari rasa ketakutan dan kecemasan masyarakat. Sebab post-truth dimulai dengan menanam benih keraguan di hati masyarakat dan kemudian bertumbuh besar dengan pupuk ketakutan.
“Ketakutan itu menjadi semakin cepat membesar, terlebih di dalam situasi seperti pandemi Covid-19 yang dapat berujung kepada munculnya kepanikan publik dan dekadensi trust. Kita lihat saat di awal Covid-19 masuk ke Indonesia sempat terjadi panic buying, orang saling mencurigai dan banyak hal negatif lainnya terjadi karena hoaks meraja lela di media sosial dan aplikasi chat,” paparnya lagi.
Menurut Puan Maharani, post-truth juga yang menyebabkan munculnya fenomena di mana sebagian orang tidak percaya bahwa Covid-19 nyata. Kelompok tersebut menganggap Covid-19 adalah konspirasi belaka sehingga ada yang tidak mau menjaga protokol kesehatan.
“Akibatnya angka penularan Covid-19 meningkat serta bisa berujung kepada hilangnya nyawa seseorang. Ikhtiar kebangsaan kita untuk melawan Covid-19 dengan melakukan vaksinasi pun turut terpengaruhi oleh post-truth,” ujar Puan Maharani.
Hoaks soal vaksinasi juga sempat beredar luas. Informasi bohong itu menyebut vaksinasi hanyalah proyek untuk keuntungan pihak tertentu. Bahkan ada yang mengklaim vaksin berbahaya serta munculnya berbagai teori konspirasi lainnya.
“Kita tidak boleh kalah melawan hoaks, karena dapat berujung kepada hilangnya nyawa saudara-saudari sebangsa setanah air. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya? Ini adalah persoalan trust, persoalan kepercayaan,” tegas lulusan Universitas Indonesia itu.
Puan Maharani yang adalah cucu proklamator Ir Soekarno itu menambahkan, diperlukan pemahaman variabel-variabel yang dapat membuat orang percaya. Ia menyebut, jutaan bukti empiris tidak akan cukup jika tidak didukung keahlian dalam meyakinkan orang sehingga akhirnya tetap saja post-truth yang menang. (Carol)