Oleh: Abrari Alzael | Budayawan
Merenung, sendiri, tentang hidup; ada lucunya. Sebab ketika dipikir-pikir, hidup sejatinya arena bermain. Sebagai permainan, hidup ada aturan dan durasi. Begitu waktu permainan sampai pada waktunya, selesai.
Di dalam arena, para pemain itu bermacam-macam gelagatnya. Ada pemain yang taat aturan. Taat aturan, tidak dijamin tanpa pelanggaran. Sebab permainan, diatur wasit. Wasit, yang sejatinya mengatur jalannya permainan, malah menjadikan pemain yang taat aturan sebagai pelanggar. Ada juga, pemain yang tidak sepenuhnya taat aturan. Ia memiliki hobi melanggar, dengan memanfaatkan wasit yang tidak sigap. Pemain dalam konteks ini, seringkali menjadi pemenang (atau pecundang ya?).
Ada juga, pemain yang memiliki eksistensi diri dengan cara melanggar. Tetapi, wasit sudah terkondisikan dengan baik untuk tidak menganggapnya sebagai pelanggaran. Pertandingan berjalan sesuai rencana wasit dan pemain yang memesannya. Pendek kata, macam-macam bentuk permainan, model pemain berikut bentuk wasit yang berada di dalam arena pertandingan. Tetapi seridaknya. Mereka memiliki gayanya sendiri untuk mencapai yang diinginkannya, menguntungkan dirinya atau merugikan orang lain.
Sebenarnya, ada yang dilupakan tentang makna kehidupan itu sendiri. Culas cara yang ditempuh, yang dihalusinasikan menguntungkan pada awalnya, dus ternyata tidak ada gunanya. Tidak memberinya pertolongan pada akhirnya atau justru malah mencelakainya. Seculas-culasnya tokoh di dunia, tak ada yang abadi. Qarun, orang kaya, terhimpit bumi. Fir’un, tokoh yang berkuasa, tercebur ke dalam lautan. Kan’an, anak muda yang arogan, ditelan banjir.
Maka, siapapun hanya menunggu waktu untuk jaya atau tidak berdaya. Pasti berbeda satu sama lain suasananya, tidak akan pernah sama situasinya. Karena diantara kita berasal dari latar yang tidak sama dan berada dalam perkembangan yang berbeda juga. Walaupun, diantara perbedaan itu dititiktemu oleh satu diksi; manusia. Masalahnya, manusia untuk siapa, manusia yang seperti apa, manusia pada saat berada di mana, dan manusia yang bagaimana?
Urusan kemanusiaan ini mirip seperti lahan, atau hutan. Dari tahun ke tahun, lahan atau hutan semakin menyempit karena terjadinya pembangunan yang membunuh lahan itu sendiri. Kemanusiaan mengalami kenyataan yang tidak berbeda dalam perkembangannya. Semakin ke sini, kian sulit menemukan cita-cita pembangunan; manusia seutuhnya, bukan manusia sebutuhnya.
Ada lima hal yang dapat membuat rasa bermanusia lenyap. Pertama, tingginya rasa ego hingga akhirnya sibuk mementingkan diri. Kedua, cara memahami keyakinan yang hanya tegak lurus ke atas tetapi bengkok ke teras. Ketiga, syahwat berkuasa dan merasakan puas diri karena hal itu. Keempat, dominasi otot dibanding otak yang membuat segara rasionalitas karam. Kelima, amnesia asal dan lupa masa kadaluarsa. Maka beruntung penghuni negeri ini, manusianya baik-baik, baik di darat, baik di laut, dan baik di udara, yang baik tetaplah baik. Tetapi yang tidak baik, baik di darat, baik di laut, dan baik di udara, tetaplah tidak baik. (*)