Oleh: Miqdad Husein | Kolumnis, tinggal di Jakarta
Pada momen peringatan hari kemerdekaan ke 77 – entah siapa yang memulai- merebak di media sosial dan jejaring komunikasi pribadi perdebatan tentang klaim beberapa data sejarah misalnya siapa pemilik rumah di Jalan Pegangsaan Timur tempat pernyataan kemerdekaan disampaikan Bung Karno dan Bung Hatta. Termasuk juga soal siapa inisiatif pembuat bendera merah putih dan beberapa soal lainnya.
Yang menarik, nama-nama yang kemudian dicamtumkan hampir semua keturunan Arab yang dianggap berjasa besar. Ada nama
Idrus Salim Al‐Jufri yang disebut inisiator bendera merah putih, Syaikh Faradj Martak yang disebut pemilik rumah di Pegangsaan Timur, Husein Al‐Muthahar yang disebut pencipta lagu 17 Agustus, Hamid Al‐Gadri yang disebut perancang lambang Garuda serta AR Baswedan.
Tidak jelas, apa tujuan bernuansa klaim disebar di ruang publik. Untuk disebut sebagai pelurusan sejarah, agak diragukan. Dari cara penyampaian memperlihatkan jauh dari semangat akademis dan lebih sebagai ekspresi protes. Mau disebut sebagai perlawanan juga terasa janggal. Sebab, praktis persoalan yang ‘disebar’ tidak pernah menjadi kontroversi. Termasuk hal-hal biasa saja.
Yang menarik dicermati, menyelip pula klaim bernuansa keagamaan. Fadly Zon misalnya, dalam satu twittnya menyebut pencipta lagu Indonesia Raya Wage Rudolf Soepratman seorang muslim. Sebelumnya sempat merebak tentang betapa besar peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan. Ini diungkap lebih sekedar mengingatkan walau terasa juga nuansa protes, disampaikan oleh sejarawan Mansyur Suryanegara.
Penegasan sejarawan Mansyur Suryanegara ini sebenarnya hal biasa saja. Apa yang dikemukakan memang merupakan fakta riil perjalanan sejarah perjuangan kemerdekaan. Siapapun mengetahui peran ulama, tokoh-tokoh Islam sangat besar dalam merebut kemerdekaan. Jadi, apa sebenarnya sampai perlu ditegaskan lagi?
Aroma persepsi politik yang menyebut pemerintah sekarang ini kurang bersikap baik kepada ummat Islam, diduga menjadi latar belakang penegasan sejarah peran ummat Islam. Tudingan pemerintah banyak menangkap para ulama, juga menjadi bumbu mengapa dirasa perlu menegaskan kembali peran ummat Islam.
Semua tampak bermuara dari permainan politik identitas, yang membenturkan ajaran Islam dengan pemerintah sekarang ini. Seakan pemerintah pimpinan Presiden Jokowi anti Islam, dianggap menangkapi para ulama, menfitnah Presiden Jokowi dengan berbagai label, yang bertolak belakang dengan semangat keislaman.
Sebenarnya .eluruskan sejarah, mengingatkan tentang sejarah, merupakan bagian dari perjalanan kehidupan. Jasmerah, jangan melupakan sejarah, kata Bung Karno. Sangat penting data dan fakta sejarah diketahui generasi masa kini agar dapat memetik pelajaran bagaimana menyongsong masa depan.
Namun menjadi terasa menyedihkan ketika pemaparan sejarah bertitik tolak dari protes jauh dari proporsional. Apalagi, yang hanya didasarkan asumsi dan pemikiran bernuansa kepentingan politik. Lebih parah lagi ketika kemudian protes itu berangkat dari tudingan jauh dari proporsional kepada pemegang kekuasaan. Yang terlihat bukan lagi pelurusan sejarah, tapi sekedar penegassan dan pembenaran terhadap asumsi, persepsi, yang sebenarnya dibangun dari permainan kepentingan politik kekuasaan.
Jadi penegasan tentang sejarah, bukan bersemangat akademis tapi lebih sebagai amunisi politik kekuasaan. Menjadikan konten sejarah, yang kebetulan memperlihatkan peran ummat Islam, yang kebetulan keturunan Arab, sebagai pembenaran terhadap berbagai tudingan atau sinisme kepada pemerintah.
Sangat sederhana mengukur validitas berbagai persepsi, asumsi, tudingan serta utak-atik sejarah bernuansa klaim dan protes itu. Lihat saja dinamika pada dua ormas terbesar negeri ini, Nahdatul Ulam (NU) dan Muihammadiyah. Jika dua Ormas itu tetap asyik-asyik saja, berarti kegaduhan yang sengaja dilempar ke permukaan seperti isyu tentang kebangkitan PKI, jauh dari kebenaran. Apalagi jika MUI pun, yang menjadi tempat berkumpul Ormas Islam lebih lengkap lagi, juga tenang-tenang saja.
Ummat Islam perlu instrospeksi untuk berpikir dan kerja produktif. Tidak sibuk dalam retorika permainan politik, termasuk juga sibuk urusan khilafiah, yang belakangan ini marak kembali. Berperanlah secara optimal seperti para tokoh perjuangan kemerdekaan di masa lalu. Berikan kontribusi terbaik bagi bangsa ini. Mereka berbuat dan berbuat. Bukan berkoar-koar di pinggir jalan. (*)