Oleh : Miqdad Husein
Menyatukan pendapat dalam beragama merupakan hal mustahil. Bukan karena ajaran agama yang jadi titik masalah. Watak dasar manusialah, yang membuat apapun -tak hanya agama- selalu berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat. Ungkapan rambut boleh saja sama hitam, tapi pikiran tak akan pernah sama, cukup menjelaskan betapa hampir mustahil menyatukan pendapat semua aktivitas manusia. Selalu saja ada hal-hal yang berbeda.
Jangan lagi kehidupan beragama, yang didalamnya ada aktivitas bersifat keyakinan, menyangkut spiritual ruhani, hal kongkrit bersifat material atau kasat mata saja perbedaan tidak dapat dihindari. Selera makan bisa menjadi contoh kongkrit betapa hampir tidak mungkin menyamakan pendapat seluruh aspek kehidupan. Ajaklah, beberapa orang masuk ke rumah makan Padang. Dijamin, akan ada pilihan selera berbeda. Apalagi bila mereka yang datang berasal dari daerah berbeda.
Potensi perbedaan pendapat merupakan aksioma, kenyataan yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya. Bahkan dapat dengan mudah dirasakan, menjadi bagian keseharian kehidupan manusia.
Karena merupakan aksioma, upaya apapun untuk menyamakan seluruh pemikiran dan perilaku manusia, apalagi kehidupan beragama, akan sia-sia belaka. Tidak akan pernah aktivitas keagamaan dapat disatukan. Seperti selera makan di rumah makan Padang, dalam beragama ada nuansa kenyamanan batin, keyakinan yang sangat personal. Belum lagi cara memahami atau menafsirkan bahkan menangkap pesan dan perintah agama.
Menjadi pertanyaan mengapa masih saja merebak upaya menyamakan pendapat seperti dilakukan oleh kalangan penganut paham salafi wahabi, yang belakangan ini marak pula di berbagai media sosial. Apalagi ketika upaya menyamakan pendapat tertuju pada hal yang bersifat sangat kontekstual; terkait kondisi sosial masyarakat. Apa iya bisa disamakan pemahaman masyarakat Jawa dengan masyarakat Sumatra dan lainnya.
Dengan gagah penuh keyakinan mereka berteriak mengajak beribadah sesuai sunnah Rasul. Lha, di masa Rasulullah saja terjadi perbedaan pendapat. Menariknya, Rasul sendiri mentoleir berbagai pendapat. Cerita tentang perintah Sholat Ashar, di Bani Quraizha memberi gambaran sangat jelas, betapa waktu, tempat, dapat dengan mudah menimbulkan penafsiran berbeda.
Perintah Rasul sangat jelas, kepada para sahabat yang diutus untuk tugas. “Janganlah sekali-kali kalian sholat Ashar, kecuali di Bani Quraizha.” Kata sholat Ashar dan Bani Quraizhah sangat eksplisit. Perintah juga jelas dan tegas. Tetapi, perjalanan, tempat, kondisi waktu membuat perintah sangat jelaspun membuka penafsiran berbeda. Muncul perbedaan persepsi, terjadi penafsiran perintah.
Perbedaan pendapat dalam persoalan apakah akan tetap berada di Madinah atau ke luar menyusul musuh dalam perang Uhud, contoh lain perbedaan pendapat. Menyikapi apakah menghadapi lawan, perlu tindakan keras atau dibiarkan saja, Nabi Muhammad, Abu Bakar Ashiddiq dan Umar bin Chattab berbeda pendapat sampai turun firman Allah. Itu masih ada Nabi Muhammad. Pasca Nabi Muhammad wafatpun, hanya dalam kurun waktu pendek, ketika ummat Islam dipimpin Abu Bakar Asshiddiq terjadi perbedaan pendapat menyangkut tindakan kepada mereka yang tidak membayar zakat.
Rentetan panjang perbedaan pendapat itu, pasca Rasul terus merebak dan makin terlihat ketika memasuki wilayah politik kekuasaan. Dan bukan hal luar biasa ketika berbagai ajaran agama kemudian diseret ke wilayah perbedaan politik.
Jika di masa Rasul saja terjadi perbedaan pendapat, demikian pula di masa para sahabat terkemuka Abu Bakar, Umar dan Usman dan Ali, apalagi di masa para tabi’in. Di masa yang disebut era salafussoleh perbedaan makin muncul apalagi ketika kemudian diwarnai kepentingan politik kekuasaan.
Hadist Buchari Muslim sering menjadi semacam referensi baku bahwa semua orang harus sama dalam beribadah. Lha, memahami hadist saja kadang dapat berbeda. Belum lagi, ketika seseorang bersikap kritis mempertanyakan berbagai hadist yang diriwayatkan oleh Buchari Muslim yang berpotensi menimbulkan perbedaan.
Bukan hal luar biasa jika ada kalangan mengkritisi dan mempertanyakan tingkat keakuratan hadis Buchori Muslim. Bahkan sangat wajar dan menjadi keharusan bersikap kritis. Jangan lupa, Buchari hidup setelah 178 tahun Nabi Muhammad wafat. Jarak sudah sangat jauh. Kondisi geografis, sosial, alat transportasi, persepsi dan pemahaman, pengaruh kekuasaan, semua sangat mungkin mempengaruhi penulisan hadist. Methode sanadpun, banyak dikritisi terkait kualitas pengenalan terhadap sumber dan berbagai variabel, yang mempengaruhinya.
Pertanyaannya, apakah mungkin para penyebar paham salafi wahabi itu tidak memahami berbagai fakta-fakta yang potensial membuka ruang perbedaan? Bukankah fiqih itu bersifat ijtihadiyah, hasil pemikiran para ulama, yang sudah pasti kemungkinan ada perbedaan. Bukti-bukti ada empat mashab sunni, dua mashab syiah yang dianggap dekat ke sunni yaitu mashab syiah Zaidiyah dan Jakfariyah, mashab Ibadi dan Dhahiri, tidak cukupkah membuka kesadaran mereka bahwa perbedaan pasti akan selalu ada.
Jangan lupa, perbedaan pada sekitar delapan mashab, yang diakui oleh pertemuan ulama di Amman pada tahun 2004 itu, hanya pada persoalan furu’iyah. KH. Muzadi lebih tajam lagi menyebut perbedaan pada ibnul furu’ alias anak ranting. Bukan pada subtansi atau batang dan akar ajaran agama.
Di sinilah perlu dicermati dan diwaspadai kenapa salafi wahabi demikian bernafsu berteriak kembali beribadah sesuai sunnah rasul dengan berbagai tudingan bid’ah bahkan kadang kafir, kepada mereka yang berbeda pendapat. Jelas, upaya keras mereka, bukan hal luar biasa bila memiliki agenda terselubung. Mereka pasti mengetahui realitas perbedaan, fakta kontekstual budaya dari sejak awal Islam turun telah merebak perbedaan serta Rasulpun menyikapi perbedaan dengan sangat arif. Mereka juga mengetahui perbedaan selalu pada persoalan kecil alias furu’iyah.
Apa latar belakang dan agenda terselubung mereka. Inilah, yang perlu diwaspadai karena yang mereka lakukan merupakan ironi, yang telah menimbulkan kegaduhan dalam beragama. Ummat dibuat sibuk urusan elementer seperti soal beduk, klepon, jabat tangan, wayang dan lainnya sehingga melupakan hal besar soal keadilan, kemiskinan, keterbelakangan. Terasa pula potensi menciptakan konflik di tengah masyarakat. Ummat perlu menyadari bibit-bibit konflik yang disebar mereka.