JAKARTA, Koranmadura.com – Ekonomi global masih dilanda ketidakpastian. Belum usai persoalan pandemi Covid-19, awal tahun 2022 dunia kini dihadapkan pada perang antara Rusia dan Ukraina. Perang tersebut menyebabkan supply shock bahan pangan dan energi. Dampaknya, inflasi membumbung tinggi yang menjalar di banyak kawasan.
Meski demikian Indonesia masih optimistis bisa meraih pertumbuhan ekonomi ke level lima persenan jika mampu mengelola inflasi dengan baik. Dengan inflasi terkendali dengan baik, maka permintaan domestik (konsumsi rumah tangga) sebagai pilar penting pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini akan terjaga.
Demikian dikemukakan Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI MH Said Abdullah dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (2/8/2022).
Said Abdullah menguraikan, efek kenaikan harga komoditas global di Kuartal IV tahun 2021 berdampak penerimaan perpajakan Indonesia melampaui target, setelah dua belas tahun berturut turut Indonesia mengalami short fall pajak. Naiknya harga komoditas juga menjaga surplus perdagangan sejak Mei 2020.
Di lain hal Indonesia harus memperbesar alokasi belanja subsidi dan kompensasi energi, yakni BBM, LPG dan listrik. Membengkaknya alokasi subsidi dan kompensasi energi ini dikarenakan Indonesia telah lama menjadi importir minyak bumi. Biaya tambahan juga kita butuhkan untuk menjaga daya beli, khususnya rumah tangga miskin terhadap kenaikan inflasi yang mulai dirasakan di sejumlah bahan pangan impor.
Menurut Said, bila pada sejumlah serial meeting tingkat Menteri G20 dan puncaknya pada KTT G20 pada November 2022 nanti tidak membuahkan hasil nyata untuk mengatasi supply shock pangan dan energi dunia, maka pada tahun depan Indonesia masih akan menghadapi situasi ekonomi yang kurang lebih sama seperti tahun ini.
“Bila KTT G20 bisa menganulir berbagai pelarangan produk pangan dan energi Rusia ke pasar global, langkah itu akan membuka pasokan logistik global pulih secara perlahan,” katanya.
Lebih lanjut Said mengatakan bahwa pada tahun 2023 Indonesia perlu mewaspadai kesiapan fiskal, mengingat tahun depan Indonesia harus kembali pada defisit pembiayaan APBN di bawah 3 persen PDB. Indonesia tidak bisa lagi membuka pembiayaan utang seperti tiga tahun terakhir untuk melebarkan ruang fiskal.
Oleh sebab itu, tandas Said Abdullah, senjata utama pemerintah agar memiliki dompet lebih tebal yakni dengan menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi, menjaga surplus perdagangan yang di topang dari ekspor baru dan manufaktur, penerimaan perpajakan yang baik, dan inflasi yang terkendali, serta meningkatkan investasi, khususnya pada sektor primer.
“Kita masih berpeluang besar seiring masih relatif tingginya harga komoditas ekspor. Oleh sebab itu porsi ekspor dalam mendorong permintaan perlu terus ditingkatkan, agar tidak semata mata mengandalkan permintaan domestik. Inilah saatnya kita melakukan transformasi ekonomi untuk lebih outward looking,” tuturnya.
Oleh sebab itu, lanjut Said Abdullah, Indonesia tidak boleh mengandalkan ekspor hanya bertumpu pada komoditas. Program hilirisasi harus mulai tampak kontribusinya pada produk ekspor baru. Selama rentang 2014-2019 Indonesia hanya menghasilkan 17 produk ekspor baru, sementara Vietnam 48, Thailand 30, dan Malaysia 30 produk ekspor baru.
Dari sisi investasi Indonesia perlu lebih giat mendorong investasi pada mesin mesin dan peralatan serta hak kekayaan intelektual. Pengeluaran untuk barang modal atau PMTB selama ini lebih dari 70 persen didominasi oleh bangunan, kontribusi mesin, peralatan dan hak kekayaan intelektual masih rendah. Karena konsentrasi investasi masih pada sektor bangunan, akibatnya daya dukung produksi barang belum memadai, ditambah sumber daya manusia yang belum mempuni, dan tingginya biaya logistik, hal ini menjawab persoalan mengenai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia masih tinggi di level 6,24 pada tahun lalu.
Said menlanjutkan, lebih dari 30 persen belanja negara tertransfer ke daerah dan desa. DPR telah memberikan dukungan kepada pemerintah pusat dan daerah melalui Undang Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). Melalui undang undang ini pemda diberikan kewenangan fiskal yang lebih besar, seiring dengan kewajiban untuk efisiensi belanja rutinnya. Dengan menjalankan undang undang ini dengan baik, kontribusi pembangunan didaerah akan jauh lebih besar effort-nya. Sehingga tumpuan pembangunan tidak hanya mengandalkan belanja pusat.
Jika pemerintah mampu disiplin dalam mengelola target, serta cepat melakukan mitigasi atas berbagai dinamika sosial, ekonomi, politik dan keamanan, serta berkaca dari kemampuan cepat melakukan recovery di tahun 2021, maka Said Abdullah memperkirakan postur APBN pada tahun 2023 antara lain:
Asumsi ekonomi makro; (1) Pertumbuhan ekonomi 5,2-5,5%, (2) Inflasi ±4%, (3) Kurs (Rp/USD) 14.400-14.700, (4) Suku Bunga SUN 10 tahun 7,3 – 9%, (5) Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP); 90-100 USD/barel, (6) Lifting Minyak Bumi 650-680 ribu barel/hari (7) Lifting Gas Bumi 1.040-1.150. setara minyak, ribu barel/hari
Target Indikator Kesejahteraan: (1) Tingkat kemiskinan 7,5-8,5%, (2) Tingkat Pengangguran Terbuka 5,3 – 6%, (3) Rasio Gini 0,375-0,378, (4) Indeks Pembangunan Manusia 73,3-73,4, (5) Nilai Tukar Petani 105-107, (6) Nilai Tukar Nelayan 107-108.
Pendapatan Negara berkisar Rp. 2.296,64 – 2.507,8 triliun, yang terdiri dari penerimaan (1) Penerimaan Perpajakan berkisar Rp. 1.936,14 – 2.050,58 triliun, (2) Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp. 385,5 – 455,22 triliun, (3) Penerimaan Hibah Rp. 2 triliun.
Belanja Negara berkisar Rp. 2.829,8 – 3.116,88 triliun yang terdiri dari; (1) Belanja Pusat Rp.2.019,9 – 2.276,6 triliun, (2) Transfer ke Daerah dan Desa Rp. 809,9 – 840,73 triliun
Defisit berkisar; (2,85% PDB)
Pembiayaan:
SBN Netto : Rp. 600,8- 902,2 triliun
Investasi Netto : Rp. 65,6 – 205,0 triliun
Rasio Utang terhadap PDB: 40,58-42,35 % PDB.