Oleh : Miqdad Husein
Seperti kebiasaannya, berkeluh kesah bila menyangkut kepentingan pribadi dan politinya terganggu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan merasa ada settingan Pilpres 2024 hanya dua pasangan. “Konon akan diatur dalam Pemilihan Presiden nanti yang hanya diinginkan oleh mereka dua pasangan capres dan cawapres saja yang dikehendaki oleh mereka,” ujar SBY.
Pernyataan itu disampaikan SBY kepada kader Partai Demokrat saat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Tahun 2022 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Kamis (15/9). Ia tampak khawatir -tentu saja- terkait peluang putranya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang selalu digadang-gadang tampil di pentas politik.
SBY agaknya merasa jika Pilpres 2024 hanya dua pasangan peluang AHY ambyar. Kalau toh ada sangat kecil. Itupun jika ada partai mau koalisi dengan Partai Demokrat. Partai keluarga SBY.
Jika mengacu pada berbagai survey kekhawatiran itu bisa dipahami. Bukan hanya sang putra elektabilitasnya sangat rendah, Partai Demokrat, agaknya sedang kurang pamor, juga dari berbagai survey. Jadi kalau ada partai mau mengajak Demokrat lebih cenderung menempatkan sebagaimana pelengkap seperti saat Pilpres 2019. Itu artinya makin kecil peluang AHY jika Pilpres mendatang hanya dua pasangan.
Rasanya perlu diingat ungkapan arif ‘siapa menebar angin akan menuai badai. Mereka yang membuat jebakan akhirnya terkena sendiri.’
SBY perlu disegarkan memori berbagai langkah politik di masa lalu yang mensyaratkan PT 20 persen, partai politik dapat mencalonkan Presiden. Ternyata ketentuan itu sedikit banyak mulai membelenggunya. Partai Demokrat tak bisa lagi sendirian atau mulai kesulitan bersama partai lain. Beda dengan bekal superioritas politik seperti pada tahun 2009.
Saat itu karena sedang berkuasa SBY dengan segala cara membatasi partai politik yang akan mencalonkan Presiden dengan ketentuan PT tinggi, 20 persen. Mungkin karena sedang superior -dan merasa superioritasnya akan lama- berbagai rambu dibuat untuk mengamankan kepentingannya.
Saat itu berbagai kalangan menantang pembatasan PT 20 persen. Namun tak digubris sehingga ketentuan itu tetap berlaku sampai sekarang.
Kini hasil kerja politik sendiri ‘digugat’ karena ternyata menjebak kepentingan politiknya terkait sang putra. Sebuah resiko politik, yang seharusnya disadari dari awal. Namun karena mengamankan kepentingan diri dan kelompok ketika sedang superior, kurang memperhitungkan dampak ke depan.
Inilah kelemahan yang baru dirasakan akibatnya. Mereka merancang UU dan peraturan lain tidak berangkat atas dasar kepentingan bersemangat negarawan, obyektivitas hukum. Yang menjadi titik berangkat mengamankan kepentingan instan, yang dalam dunia politik sangat fluktuatif dan kondisional.
Semua kekuatan politik perlu belajar dari sepak terjang politik SBY. Bahwa payung hukum itu semaksimal mungkin menghindari kepentingan politik sesaat. UU dan peraturan lain seharusnya bervisi dan misi penataan negeri ini agar lebih baik. Bukan atas dasar kepentingan kelompok sesaat.