Oleh : MH. Said Abdullah
Setiap akhir bulan September, selalu bermunculan perbincangan dan perdebatan tentang bahaya komunisme, melalui pemberitaan maupun media sosial serta jejaring pribadi seperti whatsapp dan lainnya. Hal ini wajar saja karena terkait erat dengan rentetan peristiwa kelam G30S/PKI yang terjadi pada akhir September tahun 1965.
Perbincangan atau perdebatan secara garis besar bernuansa dua warna. Pertama, yang berangkat dari pemikiran obyektif, akademis sehingga memperlihatkan pemaparan jernih jauh dari kesan emosional. Kedua, yang bertitik tolak atau bermuatan politik. Biasanya, bernuansa penuh emosional dan seringkali menjadi amunisi politik mengarah kepada pemerintah yang dianggap lalai dalam soal komunisme dan berbagai tudingan lainnya.
Karena bernuansa politik aroma kepentingan lebih terasa dibandingkan paparan data obyektif. Bahkan seringkali terjadi ironi menggelikan ketika berbagai kekhawatiran disebarkan tanpa persambungan logika. Contoh paling akurat tentang berbagai lontaran bahaya komunis dari seorang mantan pejabat tinggi di negeri ini. Berbagai komentar bahaya dan ancaman komunis disampaikan pasca tidak lagi menjabat. Uniknya, ketika menjabat sempat membantah ada aktivitas komunis ketika merebak selintingan pendapat tentang bahaya komunis.
Yang bersangkutan setelah tidak menjabat pernah menyampaikan pernyataan bahwa sejak beberapa tahun sudah mengetahui adanya potensi bahaya komunis. Ironisnya, ketika menjabat dan memiliki kewenangan penuh, jika memang benar ada komunis, justru sama sekali tidak bertindak bahkan membantahnya. Terlihat sekali berbagai komentarnya pasca tidak lagi memegang jabatan lebih sebagai ungkapan kepentingan politik. Presiden Jokowi tegas mengatakan sikat habis jika ada aktivitas komunis.
Pemikiran yang obyektif tentang komunis memperlihatkan sikap rasional. Mereka mengakui bahwa ideologi memang tidak pernah mati. Namun, paham komunis diakuinya sebagai telah tidak laku karena hampir semua negara di dunia kehilangan pamor. Negara komunis telah rontok seperti Rusia dan negara-negara di Eropa Timur. Cina yang berideologi komunispun sebatas simbolik karena praktek keseharian sangat kapitalis. Korea Utara, salah satu negara berideologi komunis, tinggal menunggu waktu mengikuti jejak Rusia.
Yang perlu mendapat perhatiaan, dengan tetap mewaspadai komunisme adalah tantangan ideologi transnasional atas nama agama maupun ideologi sekuralistik. Dua arus ideologi ini dapat menjadi ancaman, yang dapat menggerogoti ideologi Pancasila. Keduanya, secara faktual memperlihatkan kontradiksi riil. Tantangan ideologi atas nama agama saat ini justru menghadapi perkembangan atheisme, yang semakin semarak di berbagai penjuru dunia.
Menarik mencermati jajak pendapat tim riset WIN/Gallup International yang pada tahun 2012 saja, menemukan bahwa lebih dari satu juta warga Arab Saudi mengidentifikasi diri sebagai atheis. Lalu hampir enam juta orang menganggap diri mereka bukan orang yang religius. Angka ini lebih mengejutkan mengingat banyak negara Arab menegakkan aturan syariah yang menghukum kemurtadan dengan kematian.
Dalam beberapa tahun berikutnya, terjadi peningkatan atheisme, di Arab Saudi menjadi sekitar 4 persen, sementara masih hasil penelitian Gallup, di kawasan Timur Tengah meningkat menjadi sekitar 14 persen.
Kekhawatiran Almarhum Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif beberapa waktu lalu, memiliki fakta-fakta obyektif. Pengerasan dan kecenderungan pemaksaan ideologi atas nama agama justru berbalik menjadi kekecewaan kepada agama. Mereka, yang memilih hidup tanpa keyakinan keagamaan disinyalir kecewa terhadap berbagai tindakan kekerasan berlabel agama seperti ISIS dan perang antar ummat beragama.
Serangan ideologi sekuleristik menyelusuf melalui gaya hidup pragmatis. Sekalipun, tidak memiliki kecenderungan berorientasi pada kekuasaan, jauh dari muatan politik, tetap perlu diwaspadai karena akan menggerogoti nilai-nilai agama, sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan pemaparan selintas di atas pada akhir bulan September ini ada baiknya lanskap pemikiran perlu disegarkan agar lebih rasional. Tetap memiliki kewaspadaan bukan hanya pada komunisme -walau saat ini sudah rontok- tetapi juga potensi serangan ideologi transnasional, yang mengatasnamakan agama dan ideologi sekuralistik.
Organisasi Islam seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, MUI, Ormas Islam lainnya, Ormas Keagamaan PGI, KWI, Walubi, Parisada Hindu, PHDI, Matakin, perlu meningkatkan kualitas keterikatan keagamaan ummat atau jamaahnya. Ketaatan keterikatan keagamaan insya Allah dapat menjadi energi utama menghadapi berbagai serangan ideologi, yang bertentangan dengan Pancasila. Mutlak semangat gotong royong terus terpatri dalam kehidupan kesehariaan seluruh rakyat Indonesia.