Oleh : Miqdad Husein
Tak ada yang bernuansa baru tentang subsidi. Kata itu demikian akrab di telinga masyarakat di manapun. Seluruh negara di dunia memberikan subsidi kepada warga negara yang dianggap kurang mampu. Ini menegaskan bahwa selalu ada masyarakat kurang mampu di setiap negara betapapun hebat pengelolaan negara itu.
Di negara kaya, subsidi jika diartikan sebagai bantuan pemerintah lebih menyeluruh. Masyarakat tanpa kecuali mendapat apapun dari pemerintah. Sakit, jaminan sosial jika menganggur, kesehatan, perumahan dan lainnya dibantu dibiayai pemerintah. Masyarakat tak perlu membayar pajak. Semua sudah tersedia.
Namun, tak banyak negara yang demikian memanjakan seluruh kebutuhan masyarakatnya. Itupun biasanya, negara kecil. Jumlah penduduk sedikit sementara penghasilan dari sumber alam melimpah ruah. Brunei Darussalam, satu dari sedikit contoh, yang hampir seluruh kebutuhan warganya dibiayai negara.
Lalu, apa masalah subsidi pada setiap negara? Kompleksitas pengelolaan. Selalu pengelolaan subsidi menjadi masalah dari sejak pendataan, pengalokasian, distribusi serta ketepatan sasaran. Apalagi jika subsidi terkait seperti BBM, penanganannya sungguh sangat ribet. Bagaimana mengatur warga yang memang layak mendapatkan.
Kebutuhan untuk nelayan relatif mudah. Demikian pula berbagai usaha kecil. Jika ada keseriusan kerja penanganan ketepatan sasaran dapat optimal. Berbeda ketika subsidi BBM menyangkut alat transportasi. Kompleksitas masalah menjadi demikian ruwet siapa sebenarnya yang berhak mendapat subsidi.
Kebingungan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi contoh sangat jelas tentang keruwetan penanganan subsidi BBM terkait transportasi. Awalnya, pemerintah saat itu akan mewacanakan memberikan subsidi hanya berdasarkan usia kendaraan. Belum sempat dilaksanakan muncul wacana subsidi hanya untuk mobil dibawa 1500 Cc. Itupun tidak jadi. Muncul gagasan baru memberikan tanda stiker pada mobil yang berhak membeli BBM bersubsidi. Juga gagal. Pembatasan melalui pembayaran non-tunai juga sempat mengemuka.
Di era sekarang ini pemerintah melalui Pertamina sedang mengusahan melalui apa yang disebut instrumen Mypertamina. Upaya ini diharapkan menjadi solusi cerdas. Namun, sampai hari ini belum dapat dilaksanakan karena proses pendataan berjalan sangat lamban. Untuk mendaftar pada sistem mypertamina, gampang-gampang susah terutama bagi mereka yang belum familiar dengan dunia digital alias gaptek.
Paparan acak-acakan ini memperlihatkan betapa persoalan penanganan subsidi sungguh sangat tidak mudah. Apalagi menyangkut warga negara yang jumlahnya mencapai 270 juta jiwa. Bukan hal luar biasa jika kemudian keluh kesah muncul bahwa subsidi tidak tepat sasaran.
Pemerintah menyebut 80 persen subsidi BBM dinikmati kalangan mampu, yang tidak berhak. LPG misalnya, disebut-sebut hanya dinikmati 36 persen yang memang berhak menerimanya.
Salah sasaran ini dalam kondisi normal, tidak ada kenaikan harga minyak dunia, mungkin tidak menyulitkan pengelolaan keuangan negara. Tidak akan terlalu membebani APBN. Namun, ketika harga minyak dunia mencuat, naik tak terkendali, subsidi BBM menjadi masalah sangat serius. Subsidi BBM 502 trilyun, mengambil porsi APBN yang sekitar 3000 trilyun, dengan beban utang yang tidak kecil, jelas bin pasti menjadi persoalan super serius. Berbagai program yang jauh lebih penting dapat tertunda.
Menaikkan harga BBM, untuk mengurangi subsidi juga bukan tanpa masalah. Seperti juga subsidi bisa salah sasaran, kenaikan BBM dampaknya bisa menyasar juga ke masyarakat yang seharusnya mendapat subsidi. Artinya, pengurangan subsidi ketika juga tidak tepat sasaran, dapat makin mempersulit masyarakat yang berhak menerima subsidi. Belum lagi dampak sosial, yang dapat pula mengoncangkan harga-harga di tengah masyarakat.
Mungkin perlu dipikirkan menggunakan pendekatan spiritual agar subsidi hanya dinikmati masyarakat yang berhak. Spiritual di sini memposisikan subsidi seperti zakat sehingga ada rasa ‘bersalah’ bila masyarakat yang tidak berhak menikmati.
Sebuah pemikiran yang bisa disebut ikhtiar spekulatif. Mirip upaya mengurangi penggunaan narkoba dengan ijma’ diharamkan.
Subsidi memang tidak semudah seperti diucapkan. Kompleks, ruwet, ribet, dari hulu sampai hilir; dari sejak pendataan, sampai pada penerimaan. Belum lagi faktor-faktor di luar subsidi seperti kenaikan harga minyak dunia yang tiba-tiba terjadi akibat perang misalnya.
Sayangnya, soal ‘ekonomi’ ini sering dijadikan amunisi politik. Bukan saling membantu mencari solusi terbaik, malah saling menyalahkan. Padahal, pemerintah siapapun, akan mengalami kesulitan sama dalam pengelolaan subsidi. Seharusnya, siapapun, baik yang berada di dalam kekuasaan dan di luar kekuasaan, saling membantu untuk kepentingan rakyat, yang memang perlu disubsidi agar masalah itu tidak terulang dan terulang. Begitulah.