Oleh : Miqdad Husein
Sekitar dua pekan ini masyarakat disuguhi berita infotainment soal Lesti Kejora, yang melaporkan suaminya Rizky Billar, karena kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Masyarakat seperti tersedu mengetahui Lesti ternyata selama ini kerap mendapat perlakuan kekerasan. Penetapan Rizky Billar sebagai tersangka walau sebelumnya melalui pengacaranya sempat berkelit, seperti membantah bukan membanting tapi terbanting, masyarakat mulai menganggap Lesti bukan sekedar pujaan sebagai bintang dangdut.
Pelan-pelan muncul arus menganggap Lesti sebagai pejuang untuk melawan KDRT. Lesti menjadi simbol perlawanan terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga. Dukungan menggelora proses hukum berlanjut agar kejadian serupa tidak terulang kembali dalam kehidupan rumah tangga.
Namun, tiba-tiba Lesti Kejora mencabut laporannya! Sontak Lesti yang awalnya menjadi pahlawan, kebanggaan sebagai sosok yang berjuang melawan KDRT, berobah menjadi sumber kekecewaan.
Arus kecewa masyarakat seperti awal mendukung, juga demikian dasyat. Masyarakat kecewa karena bagaimanapun kasus ini bukan sekedar terkait Lesti seorang. KDRT adalah problem yang sering muncul di tengah masyarakat, yang perlu dilawan melalui antara lain keberanian istri untuk melaporkan berbagai tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Di sinilah mengapa perubahan pandangan juga demikian dasyat. Yang awalnya kebanggaan dan dukungan, berbalik berobah menjadi kekecewaan dan bahkan kekesalan luar biasa. Arus emosi kecewa, seperti juga arus terharu, kasihan, ketika pertama kali Lesti melaporkan Rizky.
Posisi Lesti sebagai idola jelas makin menimbulkan kekhawatiran ketika mencabut laporan KDRT. Seakan kasus yang kerap menimpa para wanita itu, cukup dituntaskan hanya dengan mencabut laporan dan saling memaafkan.
Apapun alasan pencabutan laporan, masyarakat seperti disuarakan berbagai tokoh dan nitizen, menganggap apa yang dilakukan Lesti merupakan langkah ‘menghawatirkan’ yang dapat berdampak buruk memunculkan pembenaran KDRT atau paling tidak, menggampangkan, menyederhanakan penyelesaian kasus KDRT.
Bukan hal aneh jika banyak publik figur lain menyesalkan pencabutan laporan itu. Mama Dede, ustadza kondang, yang banyak membahas persoalan rumah tangga, menggunakan bahasa sangat jelas dan tegas terhadap pelaku KDRT. “Bodoh, wanita yang masih mempertahankan rumah tangganya jika mendapat perlakuan kekerasan dari suaminya,” katanya, sekali waktu, yang videonya beredar kembali di tengah kasus Lesti.
Mama Dede bukan tanpa alasan memberikan penegasan itu. Jelas bukan melecehkan kehidupan pernikahan tetapi menjadikan pelajaran berharga bahwa berumah tangga sebagai fondasi pembentukan generasi mendatang, seharusnya berjalan harmonis. Sudah tentu tujuan itu tak akan pernah tercapai jika ada pembiaran tindakan KDRT.
Rumah tangga yang tak lepas dari hiruk pikuk KDRT bukan hanya menyengsarakan korbannya. Pada tahap lebih jauh dapat merusak proses pembinaan generasi mendatang. Anak-anak dapat menjadi korban rumah tangga, yang penuh kekerasan. Anak dapat tertular dan pada tahap lebih jauh pengaruh buruk menebar ke masyarakat. Rumah tangga bukan menebar kebaikan malah sebaliknya menjadi sumber virus keburukan.
Inilah mengapa banyak tuntutan agar kasus KDRT itu terus diproses hukum, sekalipun Lesti telah mencabut laporannya. Sebab efek negatifnya sangat menghawatirkan bila proses hukum dihentikan.
Anggota Komisi Perempuan Veryanto Sitohang, mengharap Kepolisian mencari terobosan agar kasus itu, terus diproses agar memberikan efek jera, bukan hanya kepada Rizky tapi juga kepada ‘rizky-rizky’ lain, yang bisa jadi saat ini bersembunyi dibalik keharmonisan semu.
Hukum memang diharapkan membawa efek jera kepada pelaku dan agar orang lain tidak ikut-ikutan melakukan kesalahan sama. “Kamu dihukum bukan hanya karena mencuri kuda, yang lebih penting agar kuda-kuda lain tidak dicuri, ” bunyi ungkapan arif dunia hukum.