Miqdad Husein | Kolumnis, tinggal di Jakarta.
Dalam pertemuan informal, muncul perbincangan tentang siapa yang layak menjadi Calon Presiden pada konstestasi tahun 2024. Salah satu yang hadir demikian bersemangat menjagokan seseorang, yang dianggap memiliki kepasitas dan kemampuan untuk memimpin Indonesia pasca Presiden Jokowi.
Yang hadir lainnya, yang terlihat agak menahan diri bertanya, apa dasar pemikiran sehingga mencalonkan sosok yang dianggap layak itu. “Ia pintar, cendikiawan. Berlatar pendidikan tinggi. Bahasa Inggrisnya bagus banget. Kalau berbicara menarik. Tertata baik. Kemampuan menjelaskan masalah apapun, mengundang decak kagum,” katanya.
“Okelah soal pendidikan tinggi dan bahasa Inggris, yang bagus. Katakanlah itu untuk lebih memahami masalah. Tapi kalau sekedar jago bicara, tukang obat lebih jago,” samber yang lainnya, disambut tertawa riuh.
Yang mencontohkan tukang obat sambil santai mencoba menjelaskan tentang kehebatan tukang obat. “Orang yang sama sekali tidak peduli, bisa tertarik. Yang tak pernah berpikir ingin membeli, tiba-tiba tergerak untuk merogoh kantong. Itu hebatnya tukang obat,” katanya, masih juga disambut tertawa. Kali ini, sebagian membenarkan.
Yang agak kalem kembali menanggapi. “Ada benarnya, kalau sekedar bicara tukang obat memang jago. Masalahnya, yang diperlukan bukan hanya kemampuan menyusun kata-kata. Yang diperlukan di sini, masalah kepemimpinan. Kemampuan memimpin. Indonesia yang sangat luas,” tambahnya.
“Saya sependapat soal kemampuan kepemimpinan untuk memimpin apa saja. Bukan hanya untuk memimpin Indonesia pasca Pak Jokowi. Jadi, latar belakang pendidikan okelah sebagai salah satu kebutuhan dan pertimbangan. Tapi, kemampuan kepemimpinan mutlak menjadi syarat utama. Celakanya, kemampuan kepemimpinan tak bisa diperoleh dari pendidikan. Kepemimpinan itu, sekolahnya di pengalaman, di lapangan,” tambahnya.
“Menurut saya, ada yang salah kaprah dalam memandang persoalan kemampuan kepemimpinan. Kita ini agaknya masih gampang terpesona pada kemampuan retorika, cara berbicara dan bukan pada kualitas kemimpinan mengelola pemerintahan. Kita menganggap hebat orang yang jago beretorika. Jago menyusun kata-kata, yang kadang hanya bualan saja. Ya itu tadi, jago bicara mirip tukang obat,” kata seorang yang terlihat lebih sibuk mempermainkan ponsel. Namun ternyata, diam-diam seperti diakui mencoba mencari data soal kepemimpinan.
“Ini saya buka-buka google mencari referensi soal kepemimpinan. Masyarakat yang masih sering mengedepankan emosi dalam memilih pemimpin, gampang dibohongi berbagai retorika. Karena cara bicaranya bagus, lalu dianggap akan hebat jika memimpin,” tambahnya lagi.
Ini ada tulisan menarik dari pengusaha nasional Peter Ghonta, katanya lagi. Bisa jadi perbandingan ketika mencoba memaparkan bagaimana negeri Cina, sekarang ini demikian hebat hingga Amerika Serikat mulai ketinggalan. Eropa kelabakan, Jepang ketar ketir, Korea mulai khawatir.
Menurut Peter F. Ghonta, keberhasilan Tiongkok, tak lepas dari cara memandang pemimpin. Pemimpin, menurut mereka harus memiliki kinerja yang sangat bagus dan perilaku karakter yang terpuji dan tidak perlu pinter omong. Bahkan penilaian kepada orang yang pinter omong cenderung negatif, misalnya saja komentar yang sering didengar dari masyarakat di Tiongkok bahwa hanya penipu yang pandai omong.
Mereka, tambahnya lagi, dalam soal moral, tidak tertarik pada gagasan mulia keagamaan namun lebih melihat perilaku umat beragama.
“Mereka tidak tertarik pada pidato-pidato politik yang berisi janji-janji atau kuliah ideologi liberal, HAM, demokrasi dsb. Namun mereka sangat peduli pada apa yang dilakukan pengkotbah/tukang pidato itu,” tegas Peter Ghonta.
Jadi tidak dibutuhkan tukang pidato tapi orang yang berpikir, tekun dan bertangan dingin menciptakan proto-type/model, seperti Xi Zhongxun, yang sukses membangun Shenzhen.
Seseorang yang tenang, tidak emosional, tekun dan bertangan dingin dalam membuat terobosan sehingga Tiongkok terus melaju ke depan. Hampir semua pemimpin Tiongkok, sangat payah dalam public speaking.
Sosok yang kalem ini tampak menyimak karena merasa pemikirannya sejalan bahwa jika sekedar jago bicara ya tukang obat. Atau katanya lagi, biarlah urusan koar-koar itu diserahkan pada yang memang tugasnya. Siapa lagi kalau bukan anggota parlemen.
Parle itu artinya bicara. Jadi, urusan jago bicara ya anggota parlemen. Pemimpin di ekskutif tugasnya bekerja. Harus mampu bekerja. Bukan pinter bicara.
Perbincangan makin hangat ketika mulai menyebut nama. Namun salah satu yang bertindak seakan menjadi moderator mencoba mengingatkan agar tak perlu menyebut nama. “Soal nama biarlah disimpan dalam hati. Kita ngobrol sebatas bagaimana kreteria pemimpin yang baik. Yang jago bicara saja, atau yang kerja dan kerja dengan visi besar, ” katanya, sambil mengajak yang berkumpul menikmati makanan kecil dan minuman hangat. (*)