PAMEKASAN, koranmadura.com – Sekretaris Daerah (Sekda) merupakan jabatan karier dan bukan jabatan politik. Karena jabatan tersebut tidak bisa dibawa ke ranah politik apalagi dipolitisasi.
Hal itu disampaikan Suli Faris, dalam Diskusi Menakar Hangatnya Tahun Politik di Daun Bamboo Cafe, Kota Pamekasan, Jawa Timur, Rabu, 23 November 2022.
Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pamekasan itu mengatakan posisi Sekda rawan dibawa ke ranah politik. Hal itu karena jabatan tersebut merupakan jabatan yang sangat strategis.
Ia mencontohkan, mutasi Totok Hartono dari jabatannya sebagai Sekda Pamekasan menjadi Staf Ahli Bupati Baddrut Tamam, beberapa waktu lalu. Mutasi tersebut, jelas dia, memunculkan berbagai kecurigaan yang perlu mendapatkan klarifikasi dari Bupati.
“Yang berkaitan dengan mutasi jabatan Sekda sudah diatur tersendiri melalui Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dan secara tehnis diatur dalam aturan turunannya baik dalam Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri,” kata Suli Faris.
Dalam aturan tersebut, sudah diatur dan disebut secara jelas tata cara dan alasan pengangkatan, pemberhentian maupun penggantian seorang pejabat Sekda. Diantaranya, pemberhentian dilakukan karena meninggal dunia; atas permintaan sendiri; telah mencapai batas usia pensiun atau tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama enam bulan.
Selain itu, karena dinilai tidak lagi memenuhi syarat sebagai Sekretaris daerah serta melanggar peraturan disiplin pegawai negeri sipil dengan hukuman disiplin tingkat berat.
Juga karena ditetapkan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang ada kaitannya dengan jabatan atau melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara sedikitnya lima tahun penjara.
Ia menilai, alasan yang ada di dalam peraturan tersebut tidak satupun terjadi pada Totok Suhartono. Karenanya, jelas dia, Bupati Pamekasan harus menjelaskan alasannya. Apalagi penggantian tersebut dilakukan secara mendadak dan terkesan tergesa-gesa.
“Apakah Totok tidak punya kemampuan melaksanakan tugas tugas sebagai Sekda, ataukah karena ada persoalan lain. Ini penting untuk dijelaskan agar bupati tidak dinilai sedang melakukan manuver politik. Ini karena setelah membaca komentar bupati di beberapa media seakan ada kepuasan yang luar biasa setelah memecat Totok ibarat tentara menang perang dan menandakan telah terjadi perang dingin dalam tubuh Pemkab Pamekasan,” jelas Suli Faris.
Politisi senior di Pamekasan itu menyatakan, posisi Totok Suhartono sebagai Sekda sudah dirasakan aneh sejak proses pengangkatannya. Pada 2019 lalu, Bupati mengatakan pengangkatan Totok sebagai Sekda merupakan insiatif dari Wakil Bupati yang saat itu dijabat Raja’e. Ini menurutnya aneh, karena Wabup tidak memiliki kewenangan dalam proses pengusulan dan pengangkatan Sekda. Pengusulan sekda merupakan tugas dan wewenang Panitia Seleksi yang anggotanya ditetapkan oleh Bupati.
“Apalagi saat pelantikan, Bupati telah mengatakan bahwa Totok Hartono akan menjabat Sekda hanya sampai tahun 2022. Ini, kan, aneh,” ujar Suli.
Kasus yang dialami Totok Hartono, kata Suli, bukanlah satu-satunya yang terjadi menjelang tahun politik. Beberapa tahun sebelumnya kasus yang sama juga terjadi di Kabupaten Sampang. Hal itu karena posisi Sekda sangat strategis dan bisa dijadikan komoditas politik.
“Totok Hartono bukan mengundurkan diri, bukan karena meninggal dunia dan bukan pula karena tersandung persoalan hukum. Sehingga ada kesan persoalan ini karena faktor ketidaksukaan secara personal,” jelas Suli Faris. (MUJ/DIK)