JAKARTA, Koranmadura.com – Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menilai, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari tidak patut mengomentari proses judicial review atau uji materi atas Undang-Undang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta, Kamis 29 Desember 2022, Ahmad Doli Kurnia menegaskan, KPU adalah penyelenggara UU Pemilu. Karena itu apa pun peraturan pemilu yang ada, KPU menjalankannya.
“KPU adalah institusi pelaksana Undang-Undang. Sementara bila ada perubahan sistem pemilu itu artinya ada perubahan Undang-Undang. Perubahan UU hanya terjadi bila ada revisi UU, terbitnya Perpu, yang melibatkan DPR dan pemerintah atau berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi,” kata Ahmad Doli Kurnia Tandjung dalam pernyataannya itu.
Dia meneruskan, “Memang saya mendapatkan informasi bahwa ada pihak yang sedang mengajukan Judicial Review terkait soal sistem Pemilu itu. Di dalam pasal 168 ayat (2) disebutkan bahwa pelaksanaan Pemilu legislatif menggunakan sistem proporsional daftar terbuka.”
Terkait dengan komentarnya tentang potensi perubahan sistem pemilu, Ahmad Doli Kurnia Tandjung mempertanyakan posisi Hasyim Asy’ari.
“Apakah Hasyim menjadi bagian yang mendorong pihak yang mengajukan JR tersebut? Atau apakah MK sudah mengambil keputusan yang cuma Hasyim yang tahu?” tanyanya.
Ahmad Doli Kurnia Tandjung berharap MK juga dapat mengambil posisi yang netral, objektif, dan memahami posisi UU Pemilu yang sangat kompleks. Pasalnya, pembahasan UU tersebut dilakukan lewat kajian yang cukup mendalam dan membutuhkan waktu yang cukup panjang.
“Pembahasan UU Pemilu, Partai Politik, dan UU Politik lainnya sangat terkait dengan pembangunan dan masa depan siatem politik dan demokrasi kita,” ujarnya lebih lanjut.
Lebih jauh politisi Partai Golkar itu memaparkan, pasal-pasal dalam paket undang-undang politik terkait satu sama lain. “Jadi kalaupun mau diubah, harus melalui revisi UU yang harus dilakukan kembali lagi kajian yang serius. Karena itu akan menyangkut masa depan sistem politik dan demokrasi Indonesia,” paparnya.
Lebih jauh dia menceritakan, dua tahun lalu Komisi II DPR mendorong adanya revisi UU agar tidak terjadi kerumitan baru dan memunculkan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
“Sebab bila terjadi perubahan pasal secara parsial dan sporadis satu atau dua pasal berdasarkan putusan MK, apalagi dalam masa kita sudah memasuki tahapan Pemilu seperti saat ini, maka itu akan dapat menimbulkan kerumitan baru dan bisa memunculkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2024,” pungkasnya. (Sander)