JAKARTA, Koranmadura.com – Politisi PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning sangat kritis terhadap kebijakan kesehatan pemerintah, terutama soal produksi obat dalam negeri.
Itu dipertanyakan Ribka Tjiptaning dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR secara virtual, bersama Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita beserta jajaran di Gedung Nusantara I, Senayan Jakarta, Rabu 7 Desember 2022.
“Kalau sampai bolak-balik, mental orang-orang kita sendiri yang harus diubah. User-nya harus mau pake produk dalam negeri,” kata Ribka Tjiptaning sebagaimana dikutip dari dpr.go.id.
Dia meneruskan, “Kemarin berkembang isu ginjal akut kronis, belum-belum Menteri Kesehatan mau impor obat dari Singapura dan Australia dengan harga Rp 16 juta per vial. Enggak mungkin ditanggung BPJS.”
Politisi PDI Perjuangan ini lalu mempertanyakan semangat pemerintah untuk untuk menuju kemandirian obat dalam negeri.
“Jangan sampai Menperin semangat ke sana (kemandirian obat dalam negeri, memproduksi, mendorong obat-obat dalam negeri tapi (Menteri) yang satunya gila impor,” ujarnya.
Dia meneruskan, “Soalnya impor ada fee-nya. Dalam negeri enggak. Dokter-dokter kita juga (orientasi obat impor). Yang idealis, ada 10 persen saya lihat.”
Sejauh pengamatannya, pasien selalu mengeluhkan obat yang disarankan dokter cukup mahal. Itu terjadi karena dokter suka obat yang paten. Padahal, kata dia, pakai obat generik saja bisa.
“Karena ada janjinya itu lho (buat dokter). Jadi enggak mau tahu, pasien keberatan atau nggak (untuk membayar tagihan obat. Ini yang sulit. Padahal mungkin obat generik bisa lebih bagus dibanding obat paten,” kata Ribka Tjiptaning.
Dia mengaku bingung terkait semangat produksi obat dalam negeri ini, terutama soal siapa yang melakukan. Apakah di Kemenperin, Kementerian Perdagangan atau Kementerian Kesehatan
Dia mencontohkan, pentingnya produksi obat dalam negeri untuk penderita thalassemia. Di Indonesia sekitar 17 ribu penderita thalassemia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dan, hanya 5 persen dari mereka yang dibiayai BPJS Kesehatan.
“Kalau dia (pasien) obat itu impor dengan pajak tinggi, disamain aja samaa beli mobil mewah. Kalau bebas pajak, bisa 1 (obat) banding 3 (obat). Yang tadinya 1 obat, thalassemia ini orang kaya bisa miskin. Karena biaya 1 tahun bisa sampai Rp 300 juta buat satu anak. Bayangkan masih kena pajak seperti pajak mobil. Kalau itu bisa diproduksi di dalam negeri, jangan sampai itu nanti semangatnya fee lagi,” pungkas Legislator Dapil Jawa Barat IV itu.
Sebelumnya, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan saat ini industri farmasi nasional telah menguasai pasar obat sekitar 89 persen. Namun, 90 persen bahan baktu obat (BBO) aktif maupun bahan baku penolong yang digunakan industri tersebut ternyata masih harus diimpor.
Agus Gumiwang mengatakan, pemerintah berupaya melakukan transformasi sistem kesehatan, dengan meningkatkan ketahanan sektor farmasi melalui penggunaan produk lokal, produk farmasi berbasis biologi, vaksin, dan bahan aktif obat.
Sejumlah industri farmasi dalam negeri pun, kata Agus Gumiwang, telah menyampaikan komitmennya kepada Kemenperin untuk mengganti penggunaan bahan baku impor dengan bahan baku lokal. (Sander)