JAKARTA, Koranmadura.com – Undang-Undang KUHP yang baru disahkan Selasa, 6 Desember 2022, rentan menjadi pemukul demokrasi karena akan semakin mengkerdilkan hak-hak masyarakat sipil.
Karena itu perlu strategi partisipasi yang tidak hanya kreatif tetapi juga bermakna dan politis untuk dapat membuka kembali ruang sipil dan mengarahkan konstitusi ke visi demokrasi yang lebih baik.
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Kunto dalam diskusi publik bertajuk “Penyempitan Ruang Sipil dan Upaya Membangun Partisipasi yang Bermakna” di Upnormal Coffee Roasters, Jakarta, Rabu 7 September 2022.
Berdasarkan analisis pemberitaan media online pada periode 2020-2021, ancaman terhadap penyempitan ruang sipil cenderung meningkat setiap Q3 di akhir tahun. Sektor yang paling banyak muncul adalah tambang dan masyarakat.
“Hal tersebut diperparah dengan, adanya semacam insinuasi pada aktivis, pelabelan “SJW (Social Justice Warrior)” yang terorkestrasi terhadap berbagai bentuk protes atas situasi-situasi tersebut di media sosial pada banyak isu,” katanya.
Kunto Adi melanjutkan, “Sebagian dilakukan secara organik, sebagian dilakukan melalui aktivitas inautentik yang teroganisir.”
Sejak tahun 2021, jelasnya lebih lanjut, KedaiKOPI melakukan riset untuk menemukan strategi baru guna mendorong partisipasi masyarakat sipil yang lebih bermakna.
Riset kualitatif dilakukan dengan mengundang tiga elemen yaitu aktivis muda, jurnalis, dan pimpinan beberapa organisasi masyarakat sipil (CSO) di Indonesia untuk mengikuti focus group discussion (FGD).
Hasilnya, ada beberapa hal yang bisa diinisiasi bersama untuk membangun partisipasi publik yang bermakna.
“Pertama, mendorong aktivis muda merasakan pengalaman langsung dalam aktivisme dan partisipasi. Kedua, kolaborasi yang terintegrasi antara CSO dan media. Ketiga, membangun relasi antara pusat-daerah sehingga akses informasi dari daerah mengenai realitas di lapangan dapat tersalurkan secara optimal,” jelasnya.
Menurut Kunto, terdapat juga peluang kolaborasi antara media dan organisasi masyarakat sipil untuk lebih mengamplifikasi isu-isu terkait kondisi ril dan penyempitan ruang sipil.
“Upaya-upaya partisipasi harus benar-benar diarahkan untuk orientasi publik, tidak hanya reaktif tapi juga kontinual dan menghindari terjebak pada partisipasi yang berorientasi administrasi dan sekadar normatif,” kata Kunto.
Sementara itu Asfinawati, pegiat HAM Sekolah Tinggi Hukum Jentera, yang juga jadi pembicara dalam diskusi tersebut mengungkapkan, orang dibikin tidak ada harapan ketika bicara terkait urusan publik dan politik. “Bukan publik tidak sadar akan haknya, tetapi hak tersebut cenderung dikecilkan.”
Publik, menurut dia, harus mengoptimalisasi hak mereka untuk bersuara, namun sayangnya ada permasalahan yaitu swasensor. Negara sudah menggunakan koersi secara soft power, rakyat sudah didisiplinkan tanpa negara melakukan apa-apa. Hal ini juga berpengaruh pada media dan jurnalis.
Walau demikian, Asfinawati melihat masih ada harapan pada generasi muda, yang merupakan tulang punggung demokrasi Indonesia pada masa depan, untuk mendorong partisipasi publik yang lebih bermakna dalam kehidupan bernegara.
“Potensinya terdapat pada postur penduduk Indonesia di anak muda, karena mereka sudah menganut etika global. Besar peluangnya di situ, tinggal menjaga teman-teman muda agar tidak surut,” kata dia.
Pembicara lainnya Pantoro “Torry” Kuswardono, Koordinator Koalisi Keadilan Iklim menambahkan, penyempitan ruang sipil ini akan berdampak erat pada isu lingkungan.
Berdasarkan pengamatannya, banyak warga yang ingin protes terhadap ketidakadilan, tetapi mereka tidak tahu cara yang benar untuk berbicara. Juga ada keraguan apakah yang akan mereka suarakan adalah hal yang benar.
Sehubungan dengan itu, menurut dia, seharusnya rakyat diajarkan bahwa menyuarakan pendapat adalah hak yang dilindungi konstitusi.
“Orang yang membaca dan kemudian memahami pasal-pasal [UUD 1945] akan lebih percaya diri untuk mengemukakan pendapat. Hak tersebut dijamin konstitusi,” tegas Torry. (Sander)