Oleh: Miqdad Husein
Menjelang Pemilu 2024 tiba-tiba muncul wacana sistem Pemilu Proporsional Tertutup. Dari sembilan partai yang memiliki kursi di DPR, hanya PDI Perjuangan, yang setuju wacana yang bergulir itu.
Sementara, delapan partai tidak menyetujui dan mengharap sistem proporsional terbuka, seperti telah berlangsung dari sejak 2014 tetap diberlakukan.
Sikap PDI Perjuangan menarik dicermati. Secara logika politik sistem proporsional terbuka sebenarnya lebih menguntungkan bagi partai berlambang banteng itu.
Dengan sistem itu PDI Perjuangan, yang kadernya melimpah, pemenang pemilu, lebih mudah meraih pundi-pundi suara. Apalagi ikatan kader dengan pengurus tergolong salah satu yang paling kuat.
Mengapa PDI Perjuangan justru lebih menyetujui sistem yang sedang jadi wacana itu?
PDI Perjuangan agaknya mencermati dan mengkaji bahwa sistem proporsional terbuka terlalu liar.
Persaingan antar kader partai saat Pemilu demikian terasa. Ujungnya adalah mempermudah praktek money politic, yang mengotori hasil pemilu.
Kader partai yang terpilih sebagai anggota dewan kemungkinan besar hanya mereka yang memiliki banyak uang dan bukan kader terbaik, yang paling berkualitas dan loyal.
Bola liar itu pada tahap lebih lanjut mudah sekali menimbulkan intrik internal terutama ketika pengurus partai, yang selama lima tahun sibuk membenahi organisasi tidak terpilih.
Bisa jadi karena sibuk membenahi organisasi atau kurang memiliki modal, kalah dengan kader yang praktis kurang bekerja tapi memiliki modal lebih banyak.
Seorang pengajar (Widyaswara) pelatihan DPRD pernah menceritakan bagaimana nestapa anggota DPRD Tingkat II yang terpilih.
Mereka, katanya, memang senang terpilih sebagai anggota dewan. Namun, dibalik itu mereka dirundung persoalan yang akan membelit sepanjang lima tahun.
Apalagi kalau bukan utang ketika menghadapi kampanye. Modal yang dikeluarkan melimpah ruah sehingga memaksanya terbelit utang.
Nah, ketika terpilih jadi anggota DPRD yang pertama mereka lakukan berpikir bagaimana melunasi utang, selama masa kampanye. Jadilah SK Keterpilihan terpaksa digadaikan pada bank-bank, yang biasanya berkerumun sesaat pelantikan anggota DPRD. Tidak usah heran, sudah menjadi rahasia umum, sebagian besar anggota DPRD terutama tingkat II SKnya digadaikan. Alamak.
Itu semua bukan cerita hoax tapi fakta yang menggambarkan dampak pertarungan liar selama pelaksanaan Pemilu.
Bisa dibayangkan jika yang terpilih saja kelabakan harus berpikir bagaimana membayar utang, apalagi mereka yang tak terpilih. Jadi, jangan mengharap mereka yang terpilih berpikir tentang rakyat. Yang pertama ada dalam pikiran mereka bagaimana membayar utang.
Lho, bukankah salah mereka, bermain uang ketika pelaksanaan pemilu. Demikian biasanya, mereka yang tak berada di lapangan memberikan tanggapan. Mereka biasanya lupa dan kurang memahami bagaimana kondisi lapangan.
Sistem telah membuka dan bahkan mendorong terjadi permainan politik uang. Persainganpun menjadi sangat tidak sehat.
Itulah fakta-fakta riil mengapa sebenarnya proporsional terbuka sangat potensial justru menciptakan demoralisasi.
Masyarakat makin rusak moralnya karena sistem seakan mendorong terjadi permainan politik uang. Kerusakan moral massal, demikian disampaikan pengajar yang biasa berhubungan dengan anggota dewan itu. Masyarakatpun terimbas demoralisasi akibat ruang praktek uang seakan didorong melalui sistem proporsional terbuka.
Para petinggi partai perlu lebih menyelami bagaimana suara dan harapan para pengurus partai di tingkat II. Mereka, yang sudah bekerja keras selama lima tahun, jelas akan lebih memilih proporsional tertutup.
Disamping terkait apresiasi kinerja, melalui sistem proporsional tertutup pemilihan tidak berlangsung liar. Kader terpilih, biasanya Ketua dan Sekretaris, yang dari segi kualitas lebih baik atau paling tidak mereka memiliki ikatan ideologis dengan partainya.
Sebenarnya Cetro pernah menawarkan sistem campuran memadukan distrik dan proporsional. Sistem ini mengakomodasi dua sisi kepentingan baik yang ingin bertarung bebas maupun yang lebih soft (proporsional).
Sayang, sistem yang dipakai di beberapa negara itu, kurang mendapat respon anggota DPR. Padahal, sistem ini lebih sederhana dan praktis dalam pelaksanaan, lebih menjamin kualitas anggota dewan terpilih serta mengakomodir pengurus yang selama lima tahun bekerja keras membenahi partai.
Sayang memang.