JAKARTA, Koranmadura.com – Setara Institute menilai, pengakuan negara bahwa telah terlibat dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu hanya sebagai aksesori politik Presiden Jokowi.
Pengakuan negara itu disampaikan Presiden Jokowi dalam jumpa pers di Istana, Rabu 11 Januari 2023 setelah menerima laporan kerja Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang dibentuk pada Agustus 2022, berdasarkan Keppres No. 17/2022.
Namun, Setara Institute menilai, pernyataan Presiden Jokowi itu hanya bagian dari aksesori politik kepemimpinan dalam memenuhi janji kampanyenya saat di 2014 hendak mencalonkan diri sebagai presiden.
“Sebagai aksesori, pengakuan dan penyesalan itu hanya akan memberikan dampak politik bagi presiden tetapi tidak memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM,” demikian bunyi pernyataan Setara Institute yang diterima di Jakarta, Kamis 12 Januari 2023.
Lebih lanjut dikatakan, tim yang hanya bekerja tidak lebih dari 5 bulan, dengan komposisi anggota yang kontroversial dan metode kerja yang tidak jelas, mustahil bisa merekomendasikan terobosan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara berkeadilan.
“Tim ini hanya ditujukan untuk memberikan legitimasi tindakan bagi Presiden Jokowi membagikan kompensasi kepada para korban tanpa proses rehabilitasi yang terbuka dan tanpa mengetahui siapa sesungguhnya pelaku-pelaku kejahatan itu,” tulis Setara Institute lagi.
Setara Institute pun menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran secara spesifik perihal siapa-siapa aktor di balik 12 kasus yang telah dianalisis oleh Tim PPHAM.
“Persis dan konsisten dengan yang telah disampaikan oleh Kemenkopolhukam bahwa Tim PPHAM memang tidak mencari siapa yang salah, namun lebih kepada menyantuni dan menangani korban untuk dilakukan pemulihan,” kata Setara Institute lagi.
Dilanjutkan, “Fakta ini adalah dampak dari ketiadaan mandat pemenuhan hak atas kebenaran (right to the truth) sebagai dasar untuk menentukan apakah suatu peristiwa bisa dibawa ke proses peradilan HAM atau direkomendasikan diselesaikan melalui jalur non yudisial.”
“Padahal, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat esensial dalam penuntasan pelanggaran HAM berat, sekalipun melalui mekanisme non-yudisial,” kata Setara Institute lagi.
Menurut lembaga itu, ada lompatan logika yang dipraktikkan oleh pemerintah dalam pengusutan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ini.
“Yaitu mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran namun telah mengambil jalur non-yudisial sebagai mekanisme penyelesaian yang justru semakin berpotensi pada pengukuhan impunitas,” bunyi pernyataan Setara Institute lagi. (Sander)