JAKARTA, Koranmadura.com – Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyatakan pihaknya menghormati langkah ketua umum serta pimpinan 8 partai politik yang bertemu di Hotel Dharmawangsa terkait isu sistem pemilu yang perkaranya sedang dibahas di Mahkamah Konstitusi (MK).
PDI Perjuangan yang tak hadir di pertemuan itu, memilih untuk akan menghormati apa pun putusan MK.
“Pertemuan yang ada di hotel Dharmawangsa ya itu kita hormati sebagai bagian dalam tradisi demokrasi kita,” kata Hasto Kristiyanto kepada wartawan seusai menghadiri acara Makan Bareng 10.000 Warga DKI Jakarta di Jalan Baladewa, Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, Minggu 8 Januari 2022.
Hasto Kristiyanto mengungkapkan, saling bertemu antar partai politik dalam dunia politik adalah sesuatu yang biasa. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga melakukan banyak pertemuan, baik dengan rakyat maupun dengan elite nasional lainnya.
Yang membedakan adalah Megawati melakukan pertemuan dengan para ketua umum parpol tidak dalam pengertian terbuka. “Beliau banyak melakukan dialog bangsa dan negara itu justru dalam suasana yang kontemplatif. Itu yang membedakan,” kata Hasto Kristiyanto.
PDI Perjuangan, lanjut Hasto Kristiyanto, disibukkan dengan persiapan HUT PDIP ke-50 pada 10 Januari.
Mengenai isu sistem pemilu proporsional terbuka yang hendak diusulkan diubah tertutup seperti yang menjadi materi gugatan di MK, Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa semua ada ranahnya masing-masing.
Terkait dengan fungsi legislasi atau pembuatan UU, ranahnya ada di DPR. Namun jika menyangkut judicial review UU terhadap UUD 1945, ranahnya ada di MK.
Kalau ditanya idealisme yang dipegang PDI Perjuangan terkait isu tersebut, Hasto Kristiyanto mengatakan pihaknya melihat DPR bertanggung jawab bagi masa depan negara.
Maka sebagai partai politik yang mengajukan calon anggota DPR, PDI Perjuangan memerlukan para ahli dan pakar di bidangnya untuk bisa dicalonkan sebagai anggota DPR.
“Di komisi I, kami perlu pakar-pakar pertahanan, para pakar-pakar diplomasi yang memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia. Di komisi IV kami memerlukan pakar-pakar pertanian,” ujarnya.
Dia meneruskan, “Nah, dengan proporsional terbuka, ketika kami menawarkan kepada para ahli untuk membangun Indonesia melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan di DPR, banyak yang mengatakan biayanya tidak sanggup.”
“Karena proporsional terbuka dalam penelitian Pak Pramono Anung, minimum paling tidak harus ada (modal, red) yang Rp 5 miliar untuk menjadi anggota dewan. Bahkan ada yang habis sampai Rp 100 miliar untuk menjadi anggota dewan,” urai Hasto Kristiyanto.
“Maka ada kecenderungan struktur anggota dewan, banyak yang didominasi para pengusaha,” jelas lebih lanjut.
Sistem yang ada Indonesia saat ini, lanjut Hasto Kristiyanto, meniru sistem di AS. Dan justru di AS, yang kerap dianggap ikonnya demokrasi, justru saat ini mengalami krisis, yang bahkan kesulitan saat akan memilih Ketua DPR-nya.
“Maka PDI Perjuangan menawarkan suatu wacana untuk mari kita berpikir ulang dalam demokrasi kita. Diskursus inilah yang menyehatkan demokrasi. Masalah nanti apa pun yang diputuskan MK, kami sekali lagi PDI Perjuangan bukan pihak yang punya legal standing melakukan judicial review,” paparnya. (Sander)