JAKARTA, Koranmadura.com – Ketua Umum (Ketum) Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center Hardjuno Wiwoho mengaku sangat prihatin dengan mencuatnya kasus kekayaan tidak wajar dan gaya hidup hedonisme para pegawai Ditjen Pajak (DJP) dan Ditjen Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Gaya hidup hedon di institusi tersebut diwakili oleh pejabat eselon III Ditjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo dan Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto. Hardjuno Wiwoho pun menilai, kasus kedua orang ini adalah pembuka dari sebuah kotak pandora di dua institusi Kemenkeu tersebut.
“Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak era Orde Baru, para pejabat di lingkungan DJP dan DJBC Kemenkeu, memiliki harta kekayaan yang cukup fantastis yang tidak sesuai dengan normal ‘Take Home Pay’ atau gaji resmi yang diterima setiap bulan sebagaimana peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia (PGPS),” ujar Hardjuno di Jakarta, Selasa 7 Maret 2023.
Menurut Hardjuno, pengusutan tuntas harta kekayaan tidak wajar kedua pejabat Kemenkeu ini harus menjadi pintu masuk untuk menelusuri dan memeriksa harta kekayaan pejabat-pejabat di Kemenkeu yang lainnya. Sebab, patut diduga masih banyak pejabat di Kemenkeu yang memiliki harta jumbo tetapi belum terungkap.
Hardjuno menambahkan, kasus Rafael Alun dan Eko Darmanto baru “hanya puncak gunung es”- dari gaya hidup hedonis pejabat-pejabat di lingkungan Kemenkeu khususnya di DJP dan DJBC.
“Intinya perilaku oknum-oknum pejabat Kemenkeu yang overconfidence, menggunakan kekuasaannya untuk kesenangan pribadi. Ini mengerikan dan menjadi bibit lahirnya kecemburuan sosial. Apalagi ini, terjadi di saat angka kemiskinan di Indonesia meningkat,” urainya.
Kecemburuan sosial ini bisa memicu instabilitas politik menjelang tahun politik 2023-2024 ini. Untuk itu, Hardjuno mendesak Menteri Keuangan Sri Mulyani melakukan evaluasi menyeluruh kepada seluruh pegawainya agar kejadian hedonisme ini tidak terulang lagi.
“Saya kira, ini menjadi PR bagi Menkeu Sri Mulyani, agar mengevaluasi secara menyeluruh kepada pegawainya agar tidak ada kejadian seperti ini terulangnlagi,” tuturnya.
Hardjuno menilai, terbongkarnya kasus Rafael Alun Trisambodo dan Eko Darmanto, membuat kredibilitas Menkeu Sri Mulyani berada di titik nadir. Kedua kasus ini mengkonformasikan Menkeu Sri Mulyani sama sekali tidak melakukan perbaikan kinerja di Kemenkeu kecuali menumpuk utang negara yang angkanya mencapai Rp 7.000 Triliunan di era Rezim Jokowi-Ma’aruf Amin.
“Selama ini, Menkeu Sri Mulyani memang sukses membuat rakyat percaya. Tapi kasus pamer harta, harta yang tak wajar, dan bahkan angka jumlah pejabat pajak yang tidak lapor pajak, membuktikan sebaliknya. Yakni, kemenkeu ternyata tidak bisa dipercaya,” tegasnya.
Padahal, selama ini, Menkeu Sri Mulyani mencitrakan dirinya sebagai sosok yang telah banyak melakukan perubahan di jajaran kementeriannya, khususnya di lingkungan DJP dan DJBC.
Sementara itu, Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinegoro mengusulkan pentingnya Revolusi Keuangan Negara. Hal ini penting agar sumber penerimaan negara dikelola tepat sasaran dan memberikan benefit bagi rakyat. Apalagi, DJP dan DJBC memberi kontribusi lebih 70% dari total penerimaan APBN.
“Untuk menyelamatkan citra Kemenkeu, saya kira, perlu revolusi total di Kemenkeu. Sebab terbukti, banyak pejabat nakal di Kemenkeu yang belum melapor pajaknya,” tuturnya. (Sander)