Oleh: Ghozi Mujtaba (*)
Tiba-tiba saya tertarik dengan sebuah tulisan di dinding warung kopi Buk Sahri. Tulisan menggunakan pensil warna pada secarik kertas dari sobekan buku tulis.
“Itu cucu saya yang nulis. Itu, di dalam rumah juga banyak tulisan-tulisan seperti itu,” kata Buk Sahri tanpa ditanya, paham kalau saya memperhatikan tulisan yang ditempel menggunakan isolasi kertas itu.
Bagi saya bukan soal siapa yang menulis atau soal model tulisannya yang jelas-jelas menunjukkan itu karya anak usia sekolah dasar, atau juga bukan karena tulisan itu menggunakan seadanya dan ditempel sedemikian rupa.
Tapi yang membuat saya tertarik adalah isi tulisan itu. “Sin Free Day” dan di bawahnya ada tulisan dengan ukuran kecil “Ramadan Berkah ’23.
Saya yakin, si penulis bukan sekedar menulis atau belajar membait kaligrafi. Sebab tentunya, pilihan tema bagi anak seusia cucu Buk Sahri cukup banyak. Misalnya, “Buanglah Sampah pada Tempatnya”, “Hemat Pangkal Kaya” dan tema-tema lainnya.
Pilihan menulis “Sin Free Day” pasti bukan sekedar pilihan tanpa alasan. Yang saya tangkap, pembuat tulisan itu, meski masih berusia kanak, ingin menyampaikan pesan bahwa Ramadan adalah momen untuk bebas dari maksiat, pesan yang, bagi saya, berbeda dengan kebanyakan pesan yang saya terima melalui flayer yang dikirim secara berantai di WA atau pamflet dan baliho di jalan-jalan.
Bahwa Ramadan adalah bulan penuh berkah. Bahwa satu hari di bulan Ramadan setara dengan sepuluh hari di luar Ramadan sehingga setiap ibadah yang dikerjakan, pahalanya dilipat-gandakan hingga sepuluh kali lipat. Bahwa Ramadan adalah bulan penuh rahmat dan ampunan serta kebaikan-kebaikan lainnya.
Pesan “Sin Free Day” mengingatkan saya bahwa Ramadan bukan sekedar saat untuk ibadah tidak makan dan tidak minum di siang hari tapi malam harinya begadang meski hanya dengan hal yang sia-sia, apalagi maksiat. Juga bukan sekedar melakukan “simbol formal” orang berpuasa namun seharian tidur hingga melalaikan salat dan meramaikan malamnya dengan menyalakan petasan, yang nantinya ditutup dengan berhari raya.
Puasa adalah ibadah dengan totalitas jiwa. Bukan sekedar menahan lapar dan dahaga, tapi juga menahan diri dari segala kesenangan duniawi serta dari hal yang merusak nilai puasa seperti berbohong, menghasud, membicarakan keburukan orang lain, fitnah, merampas hak orang lain.
Bukankah Nabi bersabda, banyak dari orang yang berpuasa, tapi mereka tidak mendapatkan sesuatu (pahala dan fadilah) selain lapar dan dahaga.
Pesan “Sin Free Day” itu, mengingatkan saya pada momen “Car Free Day”, dimana dalam satu pekan setidaknya ada satu hari di jantung kota yang biasanya padat dengan kendaraan bermotor akan bebas dari polusi (meski jika dikaji, kegiatan itu hanya sekedar formalitas belaka). Jika ada momen satu hari dalam sepekan bebas dari polusi asap kendaraan, maka pantas jika dalam satu tahun setidaknya ada satu bulan yang disediakan untuk bebas dari polusi dosa dan maksiat. Sebab salah satu inti dari puasa adalah menahan diri dari segala bentuk mengikuti hawa nafsu. Dengan artian, puasa Ramadan adalah mempuasakan lahir (badan) dan mempuasakan batin (rohani).
Bukankah sering disampaikan bahwa di Bulan Ramadan, para setan dikerangkeng sehingga tidak bisa menggoda manusia? Dan pesan itu, saya dapat dari tulisan sederhana cucu Buk Sahri “Sin Free Day” atau hari bebas dari maksiat. (*)
*Redaktur ahli koranmadura.com.