JAKARTA, Koranmadura.com – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memastikan, politisi senior PDI Perjuangan, HM Said Abdullah, tidak melakukan kampanye pemilu ketika membagikan zakat kepada warga di Sumenep, Madura, pada 24 Maret 2023 lalu. Pasalnya, jadwal kampanye belum dimulai dan belum ada penetapan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
“Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu Tahun 2024, kampanye pemilu baru akan dimulai pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024,” demikian bunyi siaran pers Bawaslu yang diterima di Jakarta, Kamis 6 April 2023.
Lebih jauh Bawaslu menjelaskan, “Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah Partai Politik Peserta Pemilu 2024 yang dapat dikategorikan sebagai subyek hukum. Namun berdasarkan fakta hasil penelusuran, peristiwa yang terjadi dilakukan atas dasar inisiatif personal, dalam hal ini Said Abdullah, bukan keputusan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dengan pertimbangan tersebut, peristiwa yang terjadi tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran sosialisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018.”
Bawaslu juga menyebutkan bahwa HM Said Abdullah tidak menjadi calon apa pun pada Pemilu 2024. Pasalnya, tahapan pemilu belum memasuki tahapan pencalonan Anggota DPR, DPRD, DPD, atau Presiden dan Wakil Presiden.
“Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Bawaslu menyimpulkan tidak terdapat dugaan pelanggaran pemilu dalam peristiwa pembagian amplop berisi uang yang terjadi di tiga kecamatan di Kabupaten Sumenep,” bunyi pernyataan Bawaslu lagi.
Namun demikian, Bawaslu mengingatkan kepada partai politik peserta pemilu maupun pihak-pihak lain untuk tidak melakukan politik transaksional seperti membagi-bagikan uang yang dapat terindikasi politik uang.
Politik transaksional, lanjut Bawaslu, terutama setelah penetapan calon atau pasangan calon berimplikasi pada sanksi pembatalan sebagai calon atau paslon peserta pemilu seperti diatur dalam Pasal 286 UU Pemilu.
“Politik uang juga dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak 48 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 523 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Pemilu,” bunyi pernyataan Bawaslu itu.
Lebih jauh dikatakan, bila perbuatan tersebut terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka berimplikasi ke sanksi administratif berupa pembatalan dari daftar calon tetap atau pembatalan penetapan sebagai calon terpilih, sebagaimana dimaksud Pasal 285 UU pemilu. (Sander)