JAKARTA, Koranmadura.com – SETARA Institute mengutuk Bupati Purwakarta, Jawa Barat, Anne Ratna Mustika yang menyegel bangunan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Purwakarta pada 1 April 2023 lalu hanya karena diprotes kelompok intoleran.
Dalam pernyataan tertulis yang ditandatangani Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan dan diterima di Jakarta Selasa 4 April 2023 malam, SETARA Institute juga mengecam keras pernyataan Anne Ratna Mustika yang meminta jemaat beribadah di Gereja Isa Almasih.
“SETARA Institute mengecam keras penyegelan tersebut, karena beribadah merupakan hak dasar yang dijamin oleh konstitusi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perizinan yang dipersoalkan oleh Pemkab Purwakarta adalah persoalan administrasi yang tidak boleh mengalahkan jaminan hak asasi di dalam konstitusi,” kata Halili Hasan.
Dia meneruskan, “Merupakan kewajiban Pemkab Purwakarta untuk memfasilitasi GKPS sampai rumah ibadah tersebut layak secara administratif. Kewajiban fasilitasi tersebut sebenarnya juga merupakan salah satu penekanan dalam PBM 2 Menteri Nomor 9 dan 8 tahun 2006, terutama pada Pasal 14, selain syarat pendirian.”
Padahal, menurut penelusuran SETARA Institute, pihak GKPS tidak memiliki masalah serius dengan masyarakat setempat, termasuk dalam bentuk penolakan. Bahkan pihak gereja juga membangun kedekatan dan harmoni sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan dukungan.
Namun, Pemkab Purwakarta secara tiba-tiba mengambil tindakan penyegelan hanya karena gereja tersebut didatangi oleh sekelompok orang berpakaian putih dari luar masyarakat setempat, yang berusaha membubarkan ibadah GKPS pada 19 Maret 2023 dan 26 Maret 2023.
“Pihak GKPS lah yang kemudian melaporkan upaya menghalang-halangi peribadatan mereka kepada aparat setempat. Namun laporan GKPS tersebut ‘berbuah’ penyegelan dengan alasan perizinan. Tampak sekali bahwa Pemkab tunduk pada kelompok intoleran,” ujar Halili Hasan.
SETARA Institute juga mempersoalkan solusi yang ditawarkan oleh Bupati Anne agar jemaat GKPS beribadat dengan menumpang di gereja lain. Solusi tersebut sungguh memprihatinkan. Pasalnya dalam agama Kristen terdapat banyak denominasi dan aliran yang mereka sulit dan tidak dapat bergantian dalam penggunaan satu gereja untuk denominasi atau aliran yang berbeda.
“Di samping itu, persoalan jarak juga akan menjadi masalah tersendiri bagi jemaat GKPS. Hal itu menunjukkan bahwa Bupati tidak mengkaji secara komprehensif persoalan GKPS dan hanya tunduk begitu saja pada tekanan kelompok intoleran,” imbuhnya.
Lebih menyakitkan lagi penyegelan ini dilakukan menjelang umat Kristiani akan merayakan Paskah 2023. “Karena itu, SETARA Institute mendesak Pemkab, dan jika diperlukan Pemerintah Pusat, untuk segera membatalkan penyegelan GKPS dan memfasilitasi penggunaan gereja tersebut untuk peribadatan, sambil memberikan waktu tertentu kepada GKPS untuk menyelesaikan urusan administrasi perizinan,” tegas Halili. (Sander)