Oleh MH. Said Abdullah
Aktivitas mudik lebaran di negeri ini akan selalu memberikan perspektif menakjubkan. Tidak ada mobilitas manusia demikian dahsyat secara kuantitatif di dunia ini selain aktivitas mudik lebaran, yang akan mulai berlangsung pekan ini.
Berdasarkan perhitungan dan perkiraan Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik pada Lebaran 2023 mencapai sekitar 123,8 juta orang. Angka itu naik dari 85,5 juta orang pada mudik Lebaran 2022. Angka pemudik sebanyak itu setara dengan 46 persen jumlah penduduk Indonesia. Artinya, pada libur Lebaran 2023 nanti, hampir setengah penduduk Indonesia akan melakukan mobilitas antar kota. Sebuah aktivitas sosial sangat luar biasa.
Inilah aktivitas massal yang sudah pasti memberikan pengaruh signifikan pada keseluruhan kehidupan kemanusiaan. Secara spiritual dan rouhani, mobilitas itu akan memberikan dampak penyegaran kemanusiaan. Hubungan kekeluargaan, kekerabatan, persahabatan dan pertemanan masyarakat di kampung halamannya, diyakini akan memberikan oase kesejukan rohani sehingga diharapkan mempererat tali kebersamaan dan kegotongroyongan yang telah berurat akar dan telah menjadi identitas masyarakat Indonesia.
Inilah atmosfir sosial, yang tak akan ditemui di negeri manapun ketika ikatan antar manusia tidak hanya atas dasar genetis. Ikatan sosial pun terjaga dalam lingkaran komunitas sosial antara anak dengan orangtua, antar kerabat, pertemanan sesama sekolah, sepermainan dan lainnya. Sebuah hubungan sosial, yang diharapkan tetap terjaga.
Sangat jarang dan bahkan makin menipis hubungan sosial harmonis antar keluarga, antar sanak saudara di berbagai penjuru dunia. Kehidupan dan persaingan keras demikian mudah melelapkan manusia modern dalam kehidupan individualistis hingga hubungan sosial menjadi mekanis. Nilai-nilai kemanusiaan terkikis. Hidup meminjam istilah masyarakat Betawi menjadi ‘luh luh gua gua.’
Mudik pada dasarnya seperti syair lagu Ebiet G. Ade merupakan ekspresi riil manusia yang ingin pulang menelusuri perjalanan hidup di masa lalu setelah mengembara dalam pertarungan kehidupan. “Aku ingin pulang, aku harus pulang,” setelah kehidupan yang keras, seakan memisahkan ikatan tali persaudaraan dan pertemanan.
Mereka yang pulang ke kampung halaman dapat bersimpuh mencium tangan orangtua, yang tak lagi menjadi bagian dari kehidupan keseharian. Dengan derai air mata rindu, mereka pulang ke dalam dekapan cinta dan rasa sayang orang tua yang tak pernah mengering.
Yang ditakdirkan telah terputus secara fisik pun, menyempatkan diri berziarah menaburkan bunga kenangan dan air mawar yang sejatinya menyegarkan kemanusiaan dirinya. Batu nisan itu seakan mengetuk nurani mengingatkan rasa cinta dan sayang orangtua yang tak akan pernah terbayarkan.
Demikianlah, sesungguhnya embun kesejukan kemanusiaan, yang kadang tanpa disadari ingin diraih para pemudik. Melalui sungkem dan ziarah, reuni, tegur sapa antar sanak keluarga serta kerabat, para pemudik ‘pulang’ mengenang hari-hari indah di masa lalu.
Tentu ada dampak signifikan dari mobilitas massa dalam jumlah spektakuler itu. Angka-angka tentang konsumsi rumah tangga yang berkontribusi sekitar 57 persen PDB melalui mudik yang dapat menggairahkan perekonomian daerah tujuan adalah hikmah-hikmah sosial ekonomi yang dapat menjadi stimulus pemerataan. Yang menggerakkan dan menjadi generator ekonomi daerah. Mudik pada akhirnya memberikan multi efek menyeluruh baik secara spiritual maupun sosial sangat luar biasa.
Dengan manfaat dasyat itu, seharusnya aktivitas mudik menjadi perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah. Akan sangat besar pengaruhnya dalam memberikan kontribusi sosial ekonomi serta yang terpenting menyegarkan ikatan persaudaraan sanak gadang rakyat Indonesia, yang pada ujungnya menumbuhkan semangat kegotongroyongan. Sebuah nilai indah tiada tara yang perlu terus dirawat.
Selamat Hari Raya Idul Fitri, Semoga Tuhan selalu memberkahi kedamaian dan persaudaraan rakyat Indonesia.***