Oleh: Miqdad Husein
Dalam berbagai pemberitaan baik media mainstream maupun media sosial, sering terselip pernyataan bahwa pemerintah, partai politik -yang tidak sejalan- ketakutan dengan popularitas Anies Baswedan. Sambutan masyarakat saat Anies berkunjung ke berbagai daerah disebut-sebut menggetarkan dan mengkhawatirkan para lawan politik. “Segala upaya dilakukan berbagai pihak untuk mencegah tampilnya Anies Baswedan sebagai Capres. Mereka ketakutan bila Anies Baswedan Nyapres karena pasti akan memenangkan Pilpres 2024,” demikian ungkapan yang beredar.
Apakah ini semacam propaganda atau promosi, tidak penting dipersoalkan. Inilah belantara politik, yang sudah pasti selalu berorientasi kepentingan kekuasaan. Namun, menarik mencermati pendapat dan pemikiran bahwa Anies Baswedan ancaman yang akan mengalahkan Capres lainnya.
Sangat jelas pemikiran ini tidak memiliki dasar sama sekali. Dibanding Capres lain, sampai saat ini berdasarkan berbagai survei elektabilitas Anies selalu berada pada posisi ketiga dengan jarak sangat signifikan. Sebelum Ganjar Pranowo diputuskan menjadi Capres dari PDI Perjuangan, posisi Anies masih agak berdekatan di antara Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Namun, beberapa waktu setelah Ganjar resmi dicalonkan elektabilitas Anies merosot drastis, makin tertinggal jauh.
Perdebatan pada partai pengusung Nasdem, Demokrat, dan PKS, yang masih belum tuntas memutuskan siapa yang akan menjadi Cawapres Anies, makin menimbulkan ketidakpastian sehingga merebak sikap skeptis. Apalagi sempat beredar rumor Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang digadang-gadang Demokrat mendapat godaan untuk menjadi Cawapres Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar.
Pergerakan koalisi itu makin menimbulkan ketidakpastian pada masa depan pencapresan Anies. Sangat mungkin mengalami abortus politik alias gagal maju sebagai Capres pada kontestasi Pilpres 2024. Makin jelas, tidak ada dasar rasional ketakutan pada Anies bila terus maju sebagai Capres.
Lalu, merebak pertanyaan mengapa ada semacam penolakan keras dari berbagai kalangan, terutama akademisi, pejuang NKRI, tokoh agama pada Pencapresan Anies. Demikian pula pada kalangan politisi idealis -di luar kepentingan persaingan. Jawabannya satu: ancaman kegaduhan serta disharmoni sosial politik di tengah masyarakat bila Anies tampil sebagai Capres.
Rekam jejak Pilkada Jakarta 2017 yang berlanjut pada Pilpres 2019 masih menjadi trauma sosial, yang dampaknya masih sangat terasa sampai hari ini. Keterbelahan masyarakat yang sangat luar biasa akibat politik identitas menjadi ancaman kedamaian dan kebersamaan serta persatuan rakyat negeri ini.
Apapun pernyataan yang mencoba membersihkan Anies dari bayang-bayang politik identitas sangat sulit dibuang jauh-jauh. Apalagi pernyataan Anies dalam sebuah wawancara di luar negeri, seperti membenarkan dan menikmati permainan politik identitas.
Hal penting lainnya, sepak terjang Anies pasca dicalonkan Nasdempun membuat sebagian masyarakat gemas dan gregetan karena Anies masih saja menggunakan berbagai aktivitas politik berbungkus agama seperti sholat Jumat untuk kampanye. Bukan hanya belum waktunya kampanye, memanfaatkan momen ibadah apalagi di tempat ibadah adalah penyalahgunaan agama seperti pada Pilkada 2017 dan Pilpres 2019 yang membuat luka sosial keterbelahan masyarakat yang hingga masih sangat terasa. Luka lama belum sembuh, akan diperparah kembali hingga energi bangsa Indonesia terkuras habis permainan politik emosional.
Sangat jelas Anies memanfaatkan agama sebagai bungkus untuk kepentingan meraih ambisinya. Setiap akan sholat Jumat misalnya, di sebuah masjid besar, di berbagai daerah, ia selalu mengumumkan dalam berbagai jejaring sosial serta media mainstream. Sebuah perilaku politik, yang sangat jelas memanfaatkan agama untuk kepentingan meraih kekuasaan.
Bukankah sholat Jumat merupakan ibadah rutin mingguan? Benar. Sholat Jumat merupakan ibadah rutin. Namun, seorang Capres mengumumkan apalagi mengerahkan massa untuk melaksanakan sholat Jumat di sebuah masjid, telah mengubah atau minimal memanfaatkan sholat Jumat sebagai gerakan politik.
Jadi, sangat jelas, masyarakat yang bersuara lantang menolak Anies Baswedan, bukan atas dasar pertimbangan ketakutan Capres lain kalah. Sepak terjang Anies, yang identik dengan politik identitas serta sampai sekarang masih saja memanfaatkan aktivitas ibadah keagamaan sebagai gerakan politik yang sangat dikhawatirkan. Bukan soal kontestasi, yang sudah menjadi hal rutin di negeri ini.
Masyarakat Indonesia yang waras dan mencintai negeri ini, tak ingin lagi pengalaman buruk, keterbelahan antar umat Islam, antar umat beragama terjadi lagi. Luka lama belum sembuh kok mau dibuat berdarah lagi. Itulah kekhawatiran bila Anies Baswedan tampil sebagai Capres. ***