SAMPANG, koranmadura.com – Pembangunan Taman Alun-alun Trunojoyo di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, senilai Rp19 miliar, telah menjadi daya tarik yang luar biasa. Namun, dampak dari pembangunan tersebut menciptakan paradoks dalam hal regulasi pemerintah daerah.
Taman Alun-alun Trunojoyo telah menjadi tempat berkumpul ratusan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan sejumlah usaha sewa jasa wahana permainan atau hiburan. Meskipun aktivitas ini meningkatkan perekonomian di daerah tersebut, masalah timbul terkait regulasi pemerintah daerah Kabupaten Sampang.
“Walaupun ada PKL di alun-alun Trunojoyo, sebenarnya mereka tidak memiliki aturan yang jelas, karena bukan merupakan wilayah perdagangan. Akibatnya, karena tidak termasuk dalam wilayah perdagangan, kami tidak memiliki dasar hukum untuk memungut pajak dari mereka,” ungkap Wakil Ketua Komisi I DPRD Sampang kepada koranmadura.com pada Selasa, 27 Juni 2023.
Menurut politisi Golkar tersebut, dengan meningkatnya aktivitas perdagangan di Taman Alun-alun Trunojoyo, area parkir yang masih memiliki dasar hukum untuk mengenakan retribusi mengalami penyusutan, menyebabkan pendapatan asli daerah (PAD) dari retribusi parkir juga menurun.
“Jadi, yang tidak memiliki dasar hukum mengalahkan yang memiliki dasar hukum, terutama dalam hal PAD,” tambahnya.
Sementara itu, yang dapat dikenakan retribusi dari aktivitas perdagangan di Alun-alun Trunujoyo, Ubaidillah menyatakan hanya dari timbulan sampah sebesar lima ribu rupiah per bulan per PKL. Data menunjukkan bahwa terdapat 121 PKL yang berjualan di area taman tersebut, belum termasuk jasa sewa wahana hiburan.
“Jasa sewa wahana hiburan tidak termasuk dalam kategori PKL. Ini mencakup sewa mobil-mobilan, skuter, odong-odong, mewarnai, dan sebagainya. Seharusnya juga dikenakan retribusi. Namun, regulasi perlu diharmonisasi, karena area tersebut tidak termasuk dalam wilayah perdagangan yang diatur dalam Perda,” jelasnya.
Oleh karena itu, Ubaidillah menekankan pentingnya pertemuan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, seperti BPPKAD, Dishub, DLH, Bagian Hukum, Satpol PP, dan Dinas Perdagangan, untuk melakukan kajian dan harmonisasi regulasi.
Hal tersebut bertujuan agar perencanaan dan eksekusi tidak melanggar aturan. “Namun, jika tidak memungkinkan, maka perlu dilakukan Peraturan Bupati (Perbup) sebagai solusi,” katanya.
Dalam menghadapi pertanyaan tentang penarikan retribusi timbulan sampah dari PKL yang sebenarnya tidak memiliki dasar hukum untuk berjualan di area tersebut, Ubaidilah menyebut bahwa situasi ini mencerminkan paradoks dalam regulasi Pemerintah Kabupaten Sampang.
“Di satu sisi, keberadaan PKL tidak memiliki dasar hukum, namun di sisi lain, timbulan sampah memiliki dasar hukum untuk mengenakan retribusi. Inilah paradoks hukum di Sampang. Oleh karena itu, kami menekankan pentingnya harmonisasi dalam bidang regulasi agar tidak menghambat peningkatan PAD. Salah satu hambatan utama dalam meningkatkan PAD bukan hanya karena kurangnya sumber daya manusia, tetapi juga hambatan regulasi,” pungkasnya. (MUHLIS/FAT/DIK)