Oleh MH. Said Abdullah
Saat menyampaikan sambutan pada acara peluncuran Indonesia Emas 2045 di Djakarta Theatre, Jakarta, Presiden Jokowi menyampaikan pernyataan menarik. Kepemimpinan itu, paparnya, ibarat tongkat estafet. Bukan meteran pom bensin. Kalau meteran pom bensin itu, “Pak, dimulai dari nol ya. Sambil ditunjuk ini (meteran mesin pengisian bahan bakar). Apakah kita mau seperti itu? Ndak, kan?” tegas Jokowi, Kamis (15/6).
Jokowi mengibaratkan pembangunan negara dengan tingkatan sekolah. Ia memaparkan jika pemimpin sebelumnya sudah membangun hingga SMA, pemimpin berikutnya harus melanjutkan pembangunan hingga perguruan tinggi.
Pernyataan Presiden Jokowi ini, dalam konteks kepemimpinan, menegaskan tentang urgensi kontinuitas kinerja dari presiden ke presiden. Jadi, pemimpin berikutnya melanjutkan apa yang belum dan meng-accelerate visi misi presiden sebelumnya.
Yang telah berjalan diteruskan. Yang sudah baik diperbaiki lebih baik lagi dan yang kurang baik dibenahi. Kontinuitas kepemimpinan ini dapat mempercepat proses dinamika pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Jika dikaji lebih mendalam lagi, pernyataan Presiden Jokowi secara substantif merupakan bagian dari upaya penegasan urgensi fondasi sistem. Sehingga, siapa pun pemimpin di negeri ini, ia tinggal melanjutkan berbagai proses yang telah berjalan.
Sekedar contoh, di Amerika Serikat, siapa pun presiden yang terpilih tinggal melanjutkan kerja presiden sebelumnya. Sistem telah terbentuk sehingga capaian keberhasilan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat berjalan lebih cepat. Ibaratnya, tinggal menjalankan sistem yang telah ada untuk melanjutkan kerja berikutnya.
Sistem yang terbentuk itu -di Amerika Serikat- membuat siapa pun yang menjadi presiden tidak akan menjadi masalah. Dalam pemikiran sederhana, asal terpilih, siapa pun dan dari kalangan mana pun dapat menjalankan sistem pemerintahan dan bekerja sesuai janji saat kampanye.
Perbedaan kepemimpinan presiden dari Partai Demokrat dan Partai Republik yang terpilih hanya pada prioritas kinerja pada hal-hal yang kurang. Misalnya, ketika Partai Demokrat berkuasa biasanya lebih banyak menekankan pembenahan kebijakan dalam negeri seperti perpajakan dan soal ekonomi lainnya. Sebaliknya, kalau Partai Republik berkuasa, yang lebih terlihat prioritas pada kebijakan geopolitik. Politik luar negeri.
Konsepsi seperti itulah substansi pesan dari Presiden Jokowi melalui perumpamaan bernada jenaka ‘mesin pompa bensin.’ Di masa mendatang dengan sistem yang telah terbentuk, siapa pun yang terpilih sebagai presiden tinggal melanjutkan dengan prioritas pada hal-hal yang mendesak, sesuai perkembangan kondisi nasional.
Perdebatan kontestasi Pilpres tinggal memfokuskan pada persoalan yang kurang optimal. Bukankah Indonesia selama ini telah memiliki RPJPN untuk perjalanan 25 tahun.
Pada poin inilah pesan strategis Presiden Jokowi. Jangan sampai setiap pergantian presiden yang terpilih tidak melanjutkan program periode sebelumnya yang memang bagus. Namun lebih memilih program baru yang mengakibatkan program lama terbengkalai.
Memulai lagi dari nol seperti diingatkan Jokowi, bukan hanya menggambarkan kemunduran, tetapi juga ketidakmampuan berpacu mempercepat diri menghadapi tantangan persaingan keras di belantara dunia. Ini yang harus kita hindari. ***