Oleh: Miqdad Husein
Az Zaytun adalah contoh kesekian kali pembiaran aktivitas komunitas masyarakat bernuansa keagamaan diduga menyimpang karena dianggap memberikan keuntungan atau manfaat pada kekuasaan. Bisa juga sebagai katarsis politik yang sengaja dibentuk atau minimal diberikan ruang, yang kelak dimanfaatkan kepentingan kekuasaan.
Berdiri tahun 1993, Az Zaytun seakan memanfaatkan momen euforia kemesraan Orde Baru dengan ummat Islam. Ya, Az Zaytun berdiri setelah tiga tahun berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sebuah organisasi yang dianggap menjadi titik awal pemerintah Orde Baru mulai bersikap manis pada ummat Islam.
Tak ada hubungan memang antara Az Zaytun dengan ICMI. Namun keduanya memanfaatkan udara keislaman yang makin segar. Bahwa Az Zaytun kemudian berjalan ke arah yang dianggap menyimpan dan membawa misi politik di luar koridor sistem dalam waktu relatif lama, merupakan fakta yang sudah pasti menjadi tanda tanya. Wajarlah jika kemudian Az Zaytun dituding sebagai penyeimbang atau bisa jadi sejenis amunisi terpendam dari kekuasaan untuk sekali waktu dimanfaatkan.
Untuk disebut terjadi pembiaraan dapat dilihat dengan mudah dari berbagai kunjungan pemegang kekuasaan. Presiden Soeharto disebut-sebut pernah berkunjung dan membantu Az Zaytun. Apa iya sekaliber rezim Orde Baru, yang demikian ketat mengawasi berbagai bentuk penyimpangan bernuansa ideologis, bersikap toleran kepada Az Zaytun, yang dari awalnya sudah jelas beraroma NII. Ini bisa saja merupakan pembiaran dari operasi intelejen untuk sebuah kepentingan kekuasaan. Orde Baru, sudah terlalu kerap menciptakan berbagai ‘boneka’ lagi-lagi sebagai katarsis kekuasaan.
Masih banyak pejabat penting lainnya yang pernah ‘sowan’ ke Az Zaytun. Presiden BJ. Habibie merupakan pucuk pimpinan kedua negeri ini, yang berkunjung dan bahkan meresmikan pesantren yang berada di Indramayu itu. Habibie, beralasan rasional sesuai kiprahnya di bidang teknologi.
“Saya membuka pesantren itu karena pada dasarnya pesantren itu mengonsentrasikan untuk peningkatan kualitas iman dan takwa sumber daya manusia kita yang terbarukan dan juga mengagendakan ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Habibie ditemui di kediamannya di Patra Kuningan, Jakarta, Kamis 12 Mei 2011, seperti dikutip republika.co.id
AM Hendropriyono, sosok pejabat paling menarik lainnya, yang pernah berkunjung ke Az Zaytun. Menarik karena saat itu sudah mulai tercium aroma keganjilan Az Zaytun dan AM Hendropriyono membela dengan retorika khasnya. Hendropriyono yang kala itu mewakili Presiden Megawati sempat mengeluarkan ancaman akan menghajar siapa saja yang melawan Al Zaytun. Bahkan, dalam ceramahnya, Hendro mencap “iblis” bagi siapa saja yang menghujat keberadaan pesantren yang dipimpin Panji Gumilang tersebut.
Suryadharma Ali saat masih memegang jabatan sebagai Menteri Agama, juga berkunjung ke Az Zaytun. Tak ketinggalan Yusuf Kalla ketika menjabat sebagai mentri. Ketika masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum didampingi Sekjen Edhi Baskoro, tak ketinggalan juga menyempatkan datang ke Az Zaitun.
Lalu Akbar Tandjung ketika menjabat sebagai Ketua DPR dan Ketua Umum Golkar. Jejak Akbar masih ada karena Gedung Olahraga di Az Zaitun diberi nama Gedung Akbar Tandjung. Moeldoko, pejabat di era sekarang, tak ketinggalan sempat juga hadir ke sana memberikan sambutan pada saat acara menyambut satu Muharram 1444.
Dua orang Presiden negeri ini berkunjung ke Az Zaytun ditambah berbagai pejabat penting sekaliber Ketua DPR, Menteri, pucuk pimpinan partai besar. Kurang apalagi legitimasinya Az Zaytun, hem. Pertanyaannya, apakah para pejabat itu, terutama di era atau yang terkait Orde Baru tidak mengetahui problem ideologis Az Zaytun serta keganjilan pemahaman keagamaannya. Apalagi Panji Gumilang, bukan rahasia lagi merupakan sosok yang terkait NII, yang secara politik bertolak belakang dengan ideologi Pancasila.
MUI pada tahun 2002 pernah meneliti Az Zaytun yang hasilnya menyebut ada dugaan keterkaitan dengan NII dan penyimpangan ajaran agama Islam. Demikian pula INSEP dalam kajiannya menyebut hal sama dengan MUI. Namun tak pernah ada tindakan dan seakan berputar dalam pusaran kepentingan politik.
Respon kecaman ke Az Zaytun dari masyarakat baru muncul ketika berbagai sepak terjang mereka baik pemahaman keagamaan, maupun berbagai tindakan sosial, terungkap ke permukaan. Sementara sebelumnya seperti terjadi pembiaraan sehingga sekarang ini Az Zaitun, yang awalnya anak macan mulai menjelma menjadi macan galak.
Lagi-lagi terasa di sini pembiaran aktivitas komunitas masyarakat yang sebenarnya menyimpang ketika dianggap menguntungkan bagi kekuasaan baik era kekinian maupun saat lain. Masyarakat Indonesia tentu tahu tentang HTI dan Khilafatul Muslimin di Lampung yang baru ditindak belakangan ini dan dibiarkan bahkan diberi ruang di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Muskil bin mustahil SBY tidak mengetahui bahwa HTI sangat anti ideologi Pancasila dan di sekitar 22 negara telah dilarang.
Apa iya intelejen tidak mengetahui soal Az Zaytun. Atau, mungkin saja telah dilaporkan oleh Tim intelejen tapi itu tadi -dibiarkan dan baru gelagapan ketika masyarakat mencium aroma tak sedap itu.
Ayolah, jangan lagi membiarkan api kecil liar sampai membesar hingga membakar. Jangan tunggu anak macan menjadi macan. (*)