Oleh: Miqdad Husein
Seorang anak dimarahi ibunya. Ia lalu pergi keluar rumah seharian tanpa membawa sepeser pun uang. Kelaparan, duduk merenung di dekat seorang penjual mie ayam.
Penjual mie ayam, di tengah kesibukan melayani pembeli melihat kegelisahan dan kelesuan si anak yang juga tampak sedang kelaparan. Dibawanya semangkok mie ayam. Wajah si anak sumringah ketika menerima mie ayam dan langsung memakan dengan lahap.
Seusai makan dan minum secangkir teh hangat pemberian si penjual mie ayam, si anak mengembalikan mangkok sambil berujar. “Terima kasih. Bapak baik banget. Saya tidak kenal bapak, tapi saya diberinya semangkok mie ayam. Beda banget dengan ibu saya, yang marah-marah hingga saya pergi dan kelaparan,” kata si anak.
Si penjual mie ayam menatap dengan senyum cerah dan berujar lembut. “Tidak nak. Kebaikan bapak tak bisa dibandingkan dengan apa yang ibumu berikan. Bapak hanya sekali memberikan semangkuk mie ayam dan segelas teh. Sedangkan sepanjang waktu, ibumu memberikan segalanya untuk hidupmu. Pulanglah. Ibumu pasti mencari dan gelisah menunggumu,” kata penjual mie ayam dengan nada lembut.
Ia terpesona dan tersadar. Perkataan pedagang mie ayam tidak diduganya. Ia menatap sejenak, lalu pamit dan bergegas pulang ke rumah. Diam-diam ia merasakan kebenaran pernyataan si penjual mie ayam. Betapa sayang dan perhatian serta sepenuhnya dipenuhi kebutuhan dirinya oleh ibunya.
Kisah ini mungkin sering dialami banyak orang -paling tidak- dalam lintasan pemikiran ketika sebuah kebaikan seseorang seakan segalanya. Sementara kebaikan yang praktis diberikan seseorang sepanjang waktu, misalnya dari ibu atau siapa saja, juga selintas kadang terlupakan.
Dalam kasus mie ayam mungkin terasa lebih mengemuka keikhlasan si penjual. Lalu, bagaimana jika terjadi di dunia politik. Sebut saja, tiba-tiba muncul kebaikan, memuji setinggi langit dari seseorang yang sebelumnya lawan yang bahkan tak segan menghina, memaki, dan berbagai ungkapan buruk lainnya.
Tentu saja, ibarat langit dan dasar sumur antara kebaikan pedagang mie ayam dan politisi yang tiba-tiba berubah watak menjadi seakan malaikat. Pedagang mie ayam besar kemungkinan ikhlas, sedangkan politisi yang baik mendadak jelas sulit lepas dari pamrih atau kepentingan.
Jika saya, misalnya, dibesarkan sebuah partai, dari sejak awal sehingga mendapat jabatan tinggi. Lalu sekali waktu misalnya mendapat kritik atau perlakuan sedikit menyakitkan dari beberapa pengurus. Datang kader partai lain, yang berbaik hati padahal sebelumnya bersikap sebaliknya. Bagaimana sikap saya?
Akan ironis jika saya melupakan kebaikan partai yang telah membesarkan saya dari sebelumnya saya bukan siapa-siapa sampai menjadi besar. Akan merupakan ‘keluguan’ seperti anak kecil yang mendapat semangkok mie ayam dan menganggap segalanya, sehingga melupakan kebaikan sepanjang hidup dari ibunya.
Pengurus partai tempat saya aktif mungkin menjengkelkan sekali waktu. Namun, jelas sepanjang perjalanan karir politik saya telah demikian berjasa hingga membuat saya mencapai prestasi seperti sekarang. Patutkah kebaikan luar biasa dari partai yang membesarkan saya, ditukar oleh topeng kebaikan, yang muncul hanya atas dasar sebuah kepentingan?
Semangkok mie dari pedagang mie ayam, mungkin sangat ikhlas. Namun, kebaikan dari lawan politik yang bertolak belakang dari perilaku sebelumnya jelas merupakan sampah yang bahkan beracun, yang harus dibuang jauh-jauh.
Jika kebaikan pedagang mie ayam yang ikhlas sangat kecil dibandingkan kebaikan ibu yang selama ini susah payah merawat penuh kasih sayang. Apalagi kebaikan semu dari perilaku politik yang hampir pasti sekedar topeng menutup kebusukan demi kepentingan. Tak ada yang gratis dalam politik, bung. Jangan lupa itu.***