JAKARTA, Koranmadura.com – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo mengusulkan agar MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara. Posisi ini penting untuk mengantisipasi terjadinya kahar fiskal dan politik.
Hal itu ditegaskan Bambang Soesatyo atau yang akrab disapa Bamsoet dalam pidato Sidang Tahunan MPR 2023 di Senayan Jakarta, Kamis 16 Agustus 2023.
“Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu,” jelasnya.
Menurutnya, sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan subjektif superlatif dan kewajiban hukum, untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar.
Untuk itu, perlu adanya penataan ulang peran MPR. Sebab hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada 1999 dan 2022 tidak lagi menempatkan MPR sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945.
“Manifestasi dari konsepsi kedaulatan rakyat, salah satunya mewujud pada penyelenggaraan Pemilu. Kita telah memutuskan pelaksanaan Pemilu 2024, dan semua pihak telah bekerja keras menyiapkannya agar berjalan secara Luber dan Jurdil,” jelasnya.
Dia meneruskan, “Pelaksanaan Pemilu lima tahun sekali merupakan perintah langsung Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945, yang secara tegas mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan lima tahun sekali.”
“Yang menjadi persoalan adalah bagaimana sekiranya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan kita bersama, seperti bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilihan Umum tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi?”
“Maka secara hukum, tentunya tidak ada Presiden dan / atau Wakil Presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu,” imbuhnya.
Dalam keadaan demikian, Bamsoet lalu mengajukan sejumlah pertanyaan. “Siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum? Bagaimana pengaturan konstitusional-nya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?”
Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, Bamsoet mengusulkan perlu ada jalan keluar konstitusionalnya paska UUD 1945 diamandemen. Dan, kata dia, kondisi ini perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh dari seluruh warga bangsa. (Sander)