Oleh: MH. Said Abdullah
Tabiat dan watak seseorang dapat dilihat dari cara bertutur katanya. Demikian pula kesopansantunan seseorang akan terpapar dari mana berasal dari cara bicaranya. Bahasa memang akan memperlihatkan kualitas peradaban, akhlak serta watak seseorang.
Kita mengenal peribahasa bahwa “bahasa menunjukkan bangsa.” Sebuah penegasan tentang identitas seseorang berdasarkan latar belakang bahasa dan tutur katanya.
Penyair Madura D. Zawawi Imron sangat pas menggambarkan perilaku seseorang dari tutur katanya. Tokoh yang juga aktif berdakwah itu bahkan sampai pada taraf apa yang disebut azas manfaat. Artinya, apakah ucapan seseorang memberi manfaat atau sekedar retorika bombastis. Apalagi sampai menimbulkan kegaduhan.
“Dubur ayam yang menghasilkan telur, lebih mulia daripada orang yang hanya bisa menjanjikan telur. Berhentilah berjanji. Lakukanlah yang bisa dilakukan. Sebab derajat kita ditentukan oleh apa yang kita lakukan. Bukan apa yang kita janjikan. Tindakan kita sangat menentukan siapa kita ini,” kata D. Zawawi.
Sungguh sangat dalam paparan Zawawi. Ia agaknya terinspirasi firman Allah dalam Al Quran surat Ash-Shaff ayat 2-3 yang sangat tegas mengecam orang-orang yang hanya bisa bicara. “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Himbauan berupa ucapan, ungkapan dan kata-kata serta kalimat baik saja, kurang nilainya tanpa tindakan atau perbuatan; jika hanya sekedar retorika. Apalagi bila perkataan dan ucapan yang terlontar alih-alih memberikan manfaat malah sebaliknya menimbulkan masalah, menciptakan kegaduhan dan keributan di tengah masyarakat.
Di era media sosial seperti sekarang ini, ketika satu kalimat saja mudah tersebar ke pelosok negeri bahkan ke seluruh penjuru dunia “bahasa menunjukkan bangsa” tak sekedar penegasan identitas. Rangkaian kata itu menjadi bingkai, pedoman agar siapapun apalagi yang berada pada posisi sebagai sumber berita atau news maker untuk selalu berhati-hati. Dampak sosialnya sangat luar biasa. Tak hanya kegaduhan tetapi juga menjadi kekuatan perusak perilaku terutama pada anak-anak yang belum bisa menyaring berbagai informasi.
Beberapa kawan jurnalis pernah menceritakan betapa sekarang ini penyebaran informasi lewat media sosial demikian massif. Celakanya, katanya, setiap orang tanpa kontrol bisa seenaknya menyampaikan informasi menggunakan kata dan kalimat apapun. Padahal, dalam dunia jurnalistik ada kode etik, yang menjadi pegangan ketika seorang wartawan akan menulis berita.
“Setiap kami akan menulis berita, kami berpikir keras apa yang layak diberitakan. Termasuk dalam memilih kata dan kalimat yang baik, agar tidak menimbulkan masalah dan penafsiran liar di tengah masyarakat. Panjang proses sebuah berita untuk sampai memenuhi syarat disebarkan ke tengah masyarakat,” katanya.
Sekarang ini setiap orang dapat membuat berita dan menyebarkan ke media sosial tanpa proses ketat, mengabaikan check and recheck. Bukan hal aneh bila hoax bertebaran karena mengabaikan prinsip jurnalistik ketat.
Di era media sosial sekarang ini, siapapun, ucapannya akan mudah tersebar. Apalagi bila yang bersangkutan seorang public figur. Akan sangat massif penyebarannya melalui media sosial tanpa ada kontrol seperti layaknya berita yang ditulis seorang wartawan profesional.
Menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran dalam bentuk kritik sebagai bagian dari dinamika demokrasi, bukan hanya harus bahkan ‘wajib’ terus dilakukan. Namun, di era media sosial seperti sekarang ini, ketika praktis tak ada kontrol dan pengawasan, perlu kehati-hatian ekstra terutama terutama mereka yang kebetulan sebagai seorang publik figur atau praktisi media sosial, yang memiliki pengikut (follower) demikian luar biasa.
Akhirnya, kita perlu belajar bagaimana seorang pesepak bola profesional di Inggris misalnya, diikat demikian ketat melalui berbagai batasan, yang dicantumkan dalam kontrak termasuk dalam perilaku kehidupan keseharian. Mereka, jika ketahuan merokok di tempat terbuka atau mabok dijalanin, dipastikan akan mendapat sanksi berat dari klub. Apa pertimbangannya? Mereka public figur yang harus menjaga diri karena mudah ditiru dan dicontoh oleh anak-anak.
Adakah kesadaran “kekhawatiran” seperti itu, ketika kita bertutur kata di tempat terbuka? Pernahkah kita mempertimbangkan dampak kata-kata yang tersebar massif terhadap anak-anak, yang gampang sekali meniru dan meniru? Wallahu’alam bissawab. ***