Oleh Miqdad Husein
Dalam politik memang tidak ada yang pasti. Segala kemungkinan dapat terjadi. Tidak ada titik dalam politik. Selalu koma.
Mungkin saja hari ini mengatakan tidak. Tetapi kata tidak bukan akhir. Hanya koma. Bisa berubah menjadi ‘setengah tidak’ atau bahkan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi ya.
Namun di luar fleksibilitas politik yang berdasarkan kepentingan ada fatsun politik beraroma moral. Bahwa politik itu perkawanan, persahabatan, dan bahkan bisa sebagai persaudaraan. Artinya, sekalipun perilaku politik sangat tergantung kepentingan tetap bingkai moral menjadi parameter.
Kebersamaan, kesetiaan, apalagi yang ditandai semacam MoU tetap selalu menjadi landasan utama bagaimana berperilaku politik.
Nah, soal ‘moral’ politik itu belakangan demikian marak. Gugatan dan tudingan pengkhianatan dalam soal Capres Cawapres demikian membahana. Adalah Partai Demokrat yang demikian nyaring meneriakkan tudingan kepada Partai Nasdem dan Capresnya Anies Rasyid Baswedan.
Anies terutama dianggap berkhianat. Andi Arif dalam twittnya sempat memposting surat Anies yang disebut dikirim tanggal 25 Agustus lalu. Isinya meminta Agus Harimurti Yudhoyono untuk mendampingi menjadi Cawapres.
Tidak ada yang luar biasa dalam surat itu. Sebab Demokrat, Nasdem, dan PKS memang sepakat berkoalisi. Jadi, surat itu biasa saja.
Semua kemudian menjadi luar biasa bahkan bagai petir di siang bolong ketika ternyata Nasdem dan Anies justru mendeklarasikan Muhaimin Iskandar sebagai Cawapres.
Muhaimin jelas tidak hanya memukul telak AHY dan Demokrat. Juga pada sebagian masyarakat para pendukung Anies.
Sudah jadi rahasia umum pendukung dan sikap PKB secara anatomi sosial berseberangan dengan Anies dan pendukungnya yang sebagian besar dari kader PKS. Dua pihak itu bahkan boleh diibaratkan air dan minyak.
PKS yang belum menentukan sikap dan tidak hadir dalam acara Deklarasi di Surabaya menjadi bukti konkrit tentang adanya jarak lebar itu. Entahlah bagaimana akhir dari sikap PKS. Apakah tetap bersama Nasdem dan PKB atau hengkang bergabung dengan koalisi lainnya. Belum jelas.
Apa yang menarik dari gonjang ganjing itu? Soal moral itu tadi. Ternyata masih ada setitik embun soal moral. Paling tidak menjadi semacam ungkapan kekecewaan atau pelampiasan. Bahwa sebenarnya dalam realitas: baik yang dituduh maupun yang menuduh, juga yang menjadi bagian kemungkinan pernah juga melakukan, lain soal. Jadi, sebenarnya tudingan khianat mengkhianati adalah peringatan kepada siapa pun terutama kepada para politisi.
Benar dalam politik segala kemungkinan selalu terbuka. Tidak ada kawan yang abadi. Tidak ada musuh yang abadi. Namun ikatan kesepakatan sebagai parameter moral tetap harus jadi pijakan.
Terserahlah apa yang terjadi pada politisi. Mereka toh pagi saling memaki malam bisa ongkang kaki duduk bersama minum kopi. Tapi pikirkan rakyat yang telah terpolarisasi tajam. Yang bahkan saling bermusuhan.
Sudah saatnya rakyat memberikan hukuman moral kepada politisi yang bersikap pagi bagai kedelai malam tempe. Sangat dalam luka yang terkoyak. ***