SURABAYA, Koranmadura.com – Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai, saat ini Indonesia sedang mengalami krisis negarawan di semua lembaga. Bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) pun dilanda krisis yang sama.
Krisis itu terlihat dari putusan MK yang mengabulkan uji materi Pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 terutama terkait syarat usia calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres).
Hal itu diungkapkan LaNyalla Mattalitti di Surabaya, Selasa 17 Oktober 2023 sebagaimana disampaikan dalam rilis yang diterima di Jakarta sore ini.
“Pernyataan Hakim Konstitusi Saldi Isra itu menunjukkan bahwa MK, sebagai the guardian of constitution sudah tercemar tradisi politik. Ini tentu sangat buruk bagi Indonesia,” katanya.
Menurut pria yang juga mantan Ketua Umum PSSI itu, krisis negarawan ini terjadi karena semua pihak dan lembaga terlibat dalam politik praktis.
Dan, itu terjadi sejak Indonesia menganut sistem liberal yang ditandai oleh pemilihan presiden dan kepala daerah langsung. Praktik ini membuat partai politik sebagai pemegang kedaulatan begitu dominan.
Padahal dengan praktik seperti itu, negeri ini semakin kehilangan jati diri dan nilai-nilai adab, etika, dan moral.
“Negara yang menganut liberalisme dan terseret ke neoliberal serta ekonomi yang kapitalistik, pasti ditandai dengan kemenangan materialisme atas idealisme. Itu sudah prinsip,” ujarnya.
Dia meneruskan, “Sehingga perilaku politik Indonesia semakin tidak punya malu, dan mendapat pemakluman dari elit. Rakyat terus diberi pertunjukan dan contoh buruk seperti itu.”
Tokoh yang getol memperjuangkan agar Indonesia kembali ke sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa itu juga menyinggung soal batas usia capres dan cawapres.
Menurutnya, Indonesia negara besar, yang lahir dari peradaban besar kerajaan dan kesultanan Nusantara. Tidak bisa disamakan dengan negara-negara kecil di Eropa atau Skandinavia.
Karena itu, pemimpin Indonesia dibutuhkan orang yang matang dan dewasa secara usia.
“Karena negara ini berdasarkan Ketuhanan, maka tradisi di dalam pemahaman agama, bahwa usia matang seseorang itu juga harus menjadi rujukan. Jangan ditabrak, hantam kromo begitu saja. Ini bukan negara suka-suka dan ujicoba,” pungkasnya. (Sander)