PAMEKASAN, koranmadura.com – Persoalan yang dialami sebagian petambak garam di Madura, Jawa Timur, cukup kompleks dan tidak hanya berkait dengan sistem tata niaga garam.
Menurut ketua Komisi B DPRD Jawa Timur, Mohammad Aliyadi, beberapa persoalan itu antara lain, belum adanya standarisasi mutu, yang menyebabkan petambak tidak memiliki hak menilai garam hasil produksi mereka. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Madura sebagai salah satu sentra penghasil garam nasional, namun juga daerah lain seperti Gresik dan Nusa Tenggara.
Penentuan nilai kualitas garam, kata dia, justru dilakukan oleh pembeli dan petambak tidak bisa berbuat banyak karena kawatir garam mereka tidak terbeli.
Beberapa tahun yang lalu, jelas politisi asal Madura itu, sudah ada langkah maju dalam menata tata niaga garam, setelah digelar Kongres Perniagaan Garam yang mempertemukan petambak dan pihak pabrikan.
Bahkan disepakati untuk mendesak pemerintah membentuk badan khusus yang memiliki kewenangan menilai kualitas garam yang akan dijual melalui sampel garam hasil panen di setiap lokasi pendederan. Sayangnya kesepakatan tersebut tidak ada tindak-lanjutnya.
Begitu juga saat Menteri Kelautan dijabat Susi Pudjiastuti, pernah direncanakan membangun laboratorium garam di setiap sentra garam, juga tidak ada tindak-lanjutnya.
“Saya pikir ini penting untuk menjaga saling percaya antar petambak sebagai penjual dan pihak pabrikan sebagai pembeli,” katanya.
Kurang jelasnya standarisasi garam ini yang menyebabkan para petambak tidak puas dengan harga garam mereka.
“Sering terjadi, petambak merasa garam mereka KW1 (kelas premium) karena kristalnya putih dan kandungan airnya minim, tapi pembeli menyatakan masuk KW2 (medium), karena meski kristalnya putih bersih kadar airnya tidak masuk KW1,” kata Aliyadi.
Hal yang dianggap penting untuk dilakukan pemerintah adalah membentuk badan penyangga stok (buffer stock) garam, seperti yang dilakukan terhadap beras. Hal itu untuk menjaga masuknya garam impor di saat hasil produksi lokal masih melimpah.
Kasus ini, kata dia, sering terjadi dalam beberapa tahun yang lalu dan menjadi salah satu penyebab rusaknya tata niaga garam. Sebab, meskipun kualitas produksi garam lokal cukup bagus, jika impor garam diizinkan dengan alasan stok menipis, garam lokal tidak akan terjual dengan layak.
“Harga garam impor itu lebih murah dibanding dengan garam lokal. Pabrikan jelas tetap akan memilih melakukan impor, meski dari segi kualitas masih jauh di bawah garam nasional,” kata Aliyadi.
Pihak pabrikan, jelas Aliyadi, akan beralasan persediaan garam lokal mulai menipis meskipun kenyataannya masih cukup. Itu mereka lakukan untuk mencari keuntungan yang lebih tinggi dengan mendatangkan garam, salah satunya dari India.
Akibatnya, garam rakyat tidak terbeli dan menumpuk di gudang penyimpanan atau dijual dengan harga murah, seperti kasus pada 2019 lalu.
Di samping perbaikan tata niaga, di tingkat petambak perlu dilakukan penguatan, terutama jaringan antar sesama petambak sehingga mereka tidak harus meminjam modal pada tengkulak yang ujungnya garam mereka harus dibeli dengan harga di bawah harga pasar.
Di Madura, sejak 2010 lalu, pemerintah sudah menjalankan program Pengembangan Usaha Garam Rakyat (PUGAR), yang salah satu tujuannya untuk pemberdayaan petambak garam. Tapi program tersebut hanya membantu peningkatan alat deder garam.
Sementara untuk biaya penggarapan lahan, harus dari swadaya. Sebagian petambak biasanya menutup kebutuhan biaya garap lahan itu dengan meminjam modal ke tengkulak.
“Di antara keduanya ada rasa saling menguntungkan. Petambak mendapat suntikan modal, sementara tengkulak akan mendapatkan garam dengan harga tidak terlalu tinggi,” kata Aliyadi. (G-MUJ/DIK)