JAKARTA, Koranmadura.com – Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Ismail Hasani menyayangkan hasil survei sejumlah lembaga yang semakin tidak masuk akal belakangan ini.
Lebih-lebih lagi karena materi-materi survei mengafirmasi pelanggaran Konstitusi.
Dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin 20 November 2023, Ismail Hasani menyebutkan contoh-contoh materi survei yang bertujuan penggiringan opini publik untuk melanggar konstitusi.
Topik-topik itu adalah survei jabatan tiga periode di tahun lalu, survei afirmasi atas politik dinasti yang merusak demokrasi, survei afirmasi putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dan Putusan MKMK, dan lainnya.
“Di tengah keterbatasan pengetahuan publik atas term-term tersebut, pengambilan sampel secara acak, hanya akan menghasilkan afirmasi atas berbagai kehendak-kehendak inkonstitusional, niretika dan merusak demokrasi,” kata Ismail Hasani yang juga berprofesi sebagai dosen Hukum Tata Negara di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta tersebut.
Menurut dia, agitasi agenda satu putaran oleh kandidat Pilpres tentu sahih sebagai bagian dari injeksi energi bagi tim kampanye dan pendukung.
“Menjadi persoalan serius ketika agitasi itu didukung dengan survei dan publikasi survei, yang sebenarnya adalah mangampanyekan pasangan capres dan cawapres tertentu,” imbuhnya.
Dia menyebut dua tujuan tidak etis yang hendak dicapai dari agenda ini. Pertama, berharap Bandwagon effect, agar pemilih mengikuti langkah mayoritas publik yang sudah menentukan pilihan.
Kedua, menyediakan justifikasi akademik-populis, atas kemungkinan tindakan tidak jujur dan segala cara memenangi kontestasi, yang bisa saja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu pada semua kandidat.
Menurut dia, hasil survei sejumlah lembaga sudah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Apalagi, survei-survei seolah membenarkan bahwa pelanggaran konstitusi sebagai sesuatu yang biasa dan wajar.
“Berbagai keprihatinan ini menjadi kegelisahan publik dan terus akan mewarnai Pilpres dan Pemilu 2024. Keprihatinan ini kini bertransformasi menjadi ketakutan dan teror demokrasi yang mengancam kebebasan sipil,” jelas Ismail Hasani lagi.
Dia meneruskan, “Transformasi destruktif ini akan semakin kencang karena posisi benturan kepentingan penguasa dengan kandidat tertentu, sehingga akan sulit menjadi wasit yang netral, sulit menjadi tuan rumah pertandingan yang ramah, meski berulang kali menjamu makan bersama.”
Sehubungan dengan itu Setara Institute meminta para pemilik lembaga survei untuk kembali ke tujuan asalnya membentuk lembaga survei.
“Bukan hanya standar etik yang dipedomani tetapi juga ada nilai kebajikan yang dipromosikan,” ujarnya.
Dia melanjutkan, “Setara Institute juga mendorong netralitas genuine yang didukung oleh sistem, standar operasi, dan penyikapan atas dugaan pelanggaran alat-alat negara secara transparan dan berkeadilan. Langkah ini akan efektif hanya jika dimulai dari Presiden Jokowi.” (Gema)