Oleh Miqdad Husein
Banyak pertanyaan beredar di tengah kehidupan sosial belakangan, ketika belantara dunia politik penuh gonjang ganjing. Salah satu yang menarik ketika beberapa kalangan tiba-tiba bersikap sebaliknya.
Yang awalnya mendukung demikian intens kepada Jokowi berubah seratus delapan puluh derajat, berbalik mengecam, mengkritisi diiringi sikap kekecewaan luar biasa.
Adalah Goenawan Mohammad contoh paling menonjol perubahan drastis itu. Budayawan terkemuka, yang awalnya demikian mendukung, membela Jokowi sekarang berbalik mengecam, mengkritisi.
Kalimat Goenawan bahkan cenderung sangat sarkastis, tidak seperti biasanya. Sebuah gambaran kekecawaan yang luar biasa.
Sangat dan sangat banyak sosok seperti Goenawan, seperti kalangan budayawan, intelektual, akademisi, agamawan dan masyarakat luas.
Belum lama, di Rembang berkumpul tokoh-tokoh kebangsaan yang memiliki sikap sejalan kekecewaan Goenawan Mohammad.
Apakah mereka merupakan orang-orang tidak konsisten? Berubah sikap karena kepentingan misalnya? Atau, terperosok setelah mendapat segumpal uang?
Sudah pasti tidak serendah itu. Mereka rata-rata orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya. Mereka hanya berpikir tentang kepentingan negeri ini. Menyampaikan suara nurani demi menyelamatkan NKRI.
Mereka sejatinya orang-orang rasional dan berpikir jernih. Memberikan dukungan tidak membabibuta.
Memberikan dukungan atas dasar pertimbangan rasional, kepentingan masyarakat luas. Demi NKRI.
Ketika Jokowi dinilai berjalan di atas landasan perundang-undangan, bekerja dengan baik, mereka memberikan dukungan luar biasa. Membela Jokowi dari fitnah, hinaan dan hal buruk lainnya.
Namun, ketika Jokowi ternyata berbeda, sampai pada tingkat ekstrim, mereka mengkritisi dan bahkan tak segan mengecamnya.
Jadi, sebenarnya tak ada yang berobah dari para tokoh kebangsaan dan sebagian besar masyarakat belakangan yang mengkritisi Jokowi, yang sebelumnya mendukungnya.
Mereka konsisten berada pada jalur rasional, berpikir jernih demi kepentingan bangsa Indonesia.
Sebenarnya, jika dicermati, Jokowi yang berubah. Dia tidak lagi seperti ketika maju konstestasi pemilihan Presiden pada tahun 2014. Juga saat pertama kali tampil sebagai wali kota Solo.
Ada dialog menarik yang banyak beredar di tengah masyarakat. “Kami tidak berubah tetap menolak Prabowo sebagai presiden dari sejak tahun 2014 dan 2019.”
“Apalagi kita tahu bagaimana mereka menyikapi persaingan Pilpres, yang demikian brutal. Menghina, memfitnah, menyebar hoax dan berbagai tingkah laku buruk lain kepada Jokowi.”
“Kalau sekarang harus mendukung Prabowo karena Jokowi, mengapa tidak dari dulu.”
Jika ditelusuri, sikap rasional masyarakat dan terutama kalangan tokoh kebangsaan terpapar sangat jelas jejaknya.
Ketika Jokowi memperlihatkan kecenderungan bersikap manis kepada Prabowo, mereka masih menganggap sebagai hal biasa. Permainan politik alami, yang mungkin memiliki pertimbangan khusus.
Demikian pula ketika ada utak-atik mengawinkan Ganjar dengan Prabowo, masyarakat masih menilai biasa saja.
Sepak terjang itu memang sudah mulai memantik kekecewaan karena mencerminkan inkonsistensi Jokowi.
Namun, kecaman dan penolakan tetap hanya mengarah kepada Prabowo. Belum terlihat kecaman, sikap kritis kepada Jokowi. Ya, masyarakat menganggap permainan politik yang biasa muncul menjelang Pemilu.
Namun, semua berubah total ketika Mahkamah Konstitusi dicabik-cabik, dihancurkan dengan pelanggaran etika sangat, sangat serius serta produk keputusan kontroversial yang secara transparan memperlihatkan perlakuan khusus kepada Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi.
Kecaman pun masih terlihat menahan diri dan berharap Jokowi tidak mengizinkan Gibran maju menjadi Cawapres.
Sebuah sikap yang katakanlah cermin dari penolakan terhadap pelanggaran etik sangat serius di MK.
Tapi apa daya, Jokowi justru dengan santai menyampaikan dukungan dan memberikan restu. Padahal, sebelumnya mencegah Gibran karena alasan masih belum pengalaman, masih dua tahun jadi walikota dan alasan rasional lainnya.
Sepak terjangpun makin kasar ketika Kaesang, putra bungsu Jokowi mulai jadi pion catur ketika baru dua hari masuk PSI didapuk jadi Ketua Umum PSI.
Sikap sang menantu Bobby yang tanpa malu melabrak rambu-rambu partai, makin memperlihatkan bagaimana sosok Jokowi saat ini.
Masyarakat yang makin mendapat informasi terbuka melalui berbagai jaringan media, makin merasa bahwa apa yang terjadi saat ini bukanlah sebuah kebetulan.
Usulan presiden tiga periode, penundaan pemilu, bigdata dan lainnya, memiliki persambungan kepentingan. Begitulah.
Tapi, baiklah, mereka yang mengerti dunia politik memahami permainan politik. Tidak ada kawan dan musuh abadi, yang ada kepentingan abadi.
Katakanlah ada kepentingan. Namun masyarakat luas, yang masih berpikir sehat, masih memiliki nurani bersih menolak keras ketika Mahkamah Konstitusi diacak-acak. Itulah puncak kekecewaan masyarakat yang luar biasa.
Bukan tanpa alasan kekecewaan itu merebak bagai bola salju. Sebab merusak kepercayaan MK adalah tindakan sangat berbahaya, yang dapat menghancurkan kedamaian masyarakat negeri ini.
MK yang mengalami delegitimasi, menjadi alat kepentingan adalah pintu masuk konflik horizontal, yang dapat menghancurkan negeri ini.
Masyarakat yang waras dan sehat serta bersih nuraninya, tidak berubah. Berpikir rasional.
Mereka yang mengangkangi MK, yang berubah karena telah mengedepankan syahwat politik demi kepentingan diri dan keluarga. Begitulah. ***