JAKARTA, Koranmadura.com – Kelompok atau orang per orangan yang dulu dekat dengan Presiden Jokowi kini semakin kritis.
Terbaru, Forum Pemred yang rutin diajak diskusi Presiden Jokowi memberi seruan kritis kepada Presiden Jokowi dan kepada para elite dan pimpinan partai politik
Dalam seruan yang disebarkan pada Selasa 14 November 2023 di Jakarta, Forum Pemred menyebutkan Indonesia sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Penilaian itu berdasarkan tujuh fakta yang direfleksikan oleh para pendiri dan pemimpin redaksi media arus utama Tanah Air itu yang tergabung dalam forum tersebut.
Pertama, usulan 3 periode untuk Presiden Jokowi dan perpanjangan jabatan yang disuarakan beberapa menteri, sejumlah ketua umum partai politik, dan sejumlah pendukung Jokowi telah mengancam demokrasi.
Padahal, UUD 1945 mengamanatkan jabatan presiden dibatasi 2 periode. Ada indikasi dan upaya untuk melanggengkan kekuasaan dengan sejumlah narasi yang diciptakan dan memunculkan bibit-bibit otoriter.
Sangat disayangkan Presiden Jokowi tidak tegas merespons usulan ini, meski usulan tersebut kemudian kandas, karena berbagai pihak memberi respons negatif.
Kedua, telah terjadi dugaan politik penyanderaan dengan mengedepankan kasus hukum/pidana kepada seseorang maupun pimpinan partai politik yang dianggap berseberangan dengan penguasa terkait Pemilu 2024.
Dugaan penyanderaan ini yang kemudian membuat para pimpinan partai politik tidak berdaya, tidak memliki jalan lain, kecuali menyetujui skenario yang disusun pihak penguasa.
Ketiga, banyak pihak, termasuk dunia internasional, menilai ada penurunan nilai demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan data Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia menurun tajam 2017 hingga 2020 yang mencatatkan angka 6,3 poin.
Meski tahun 2021 dan 2022 naik menjadi 6,71, tapi angka masih lebih rendah dibanding 2014 dan 2015. Banyak pihak yang merasa takut untuk bersuara dan menyampaikan kritik.
Keempat, masih maraknya kasus korupsi, yang bahkan melibatkan para menteri. Bahkan, Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pun, yang seharusnya menjadi teladan, juga terseret dalam tindak pemerasan.
Upaya pemberantasan korupsi makin jauh dari yang diinginkan, apalagi sebelumnya sudah jelas ada upaya-upaya untuk melemahkan KPK.
Kelima, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi jalan bagi putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi bakal calon wakil presiden (bawacapres), memperlihatkan upaya perekayasaan hukum dengan memanfaatkan intervensi dari pihak penguasa dan mempertontonkan upaya kolusi, nepotisme, dan membangun politik dinasti.
Diduga ada manuver melawan konstitusi dan pembajakan demokrasi untuk kepentingan kekuasaan yang absolut, demi kepentingan kelompok atau golongannya sendiri.
Dugaan ini makin jelas setelah Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan memberhentikan Ketua MK Anwar Usman yang telah terbukti melakukan pelanggaran etik yang berat.
Keenam, akhir-akhir ini ada gejala penggunaan alat negara oleh pemerintah, baik dari penegak hukum, militer, hingga sumber daya ekonomi yang ada, untuk menekan pihak yang tidak sejalan, dan bahkan untuk mendukung pasangan Bacapres dan Bacawapres tertentu.
Tentu, hal ini berpotensi pada ketidakadilan dalam pelaksanaan Pemilu 2024, yang seharusnya dilandasi asas jujur, adil, bebas, dan rahasia dan berpotensi membuat kecurangan dalam Pemilu 2024.
Ini memperlihatkan ada sekelompok kepentingan yang menghalalkan segala cara untuk bisa menduduki tampuk kekuasaan.
Indikasi ini sekarang sudah terlihat dengan nyata, dan patut dikhawatirkan, bakal merusak tatanan demokrasi yang telah dibangun sejak era Reformasi.
Ketujuh, di tengah manuver politik menjelang Pemilu 2024, pemerintah perlu lebih fokus dalam memperhatikan kondisi ekonomi.
Saat ini Indonesia sedang menghadapi berbagai persoalan ekonomi dan sosial yang cukup berat di tengah konflik geopolitik dan geoekonomi dunia, lesunya perekonomian dunia, melambatnya pertumbuhan ekonomi, kenaikan harga-harga komoditas pangan, dan masih tingginya angka pengangguran. (Gema)