JAKARTA, Koranmadura.com – Koordinator Perekat Nusantara dan TPDI Petrus Selestinus meminta Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie dan anggotanya untuk benar-benar mendengar dan menjawab kecemasan dan ketidakpercayaan publik pada Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus perkara dugaan pelanggaran kode etik para hakim terutama yang dilakukan Ketua MK yang juga ipar Jokowi, Anwar Usman.
“Kami meminta MKMK bertindak cepat dan maksimal, terlebih-lebih putusannya dalam soal dugaan Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi terhadap 9 Hakim Konstitusi yang bakal dibacakan benar-benar mencerminkan putusan yang objektif tanpa ada intervensi dari kekuasaan mana pun,” kata Petrus Selestinus dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin 6 November 2023.
Menurutnya, posisi MK saat ini sedang terpuruk. Akibat keterlibatan Ketua MK Anwar Usman dalam mengambil putusan Perkara No 90/PUU-XXI/2023.
Padahal dia seharusnya terhalangan oleh konflik kepentingan oleh karena perkara tersebut jelas-jalas terkait kepentingan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Adapun Anwar Usman adalah ipar Jokowi sekaligus paman Gibran Rakabuming Raka menyusul perkawinannya dengan adik kandung Jokowi pada 2022 silam.
“Namun begitu, publik masih menaruh harapan yang tinggi kepada MKMK agar menyelamatkan posisi kemandirian dan kemerdekaan MK dari hubungan keluarga yang memudahkan intervensi dan melahirkan conflict of interest,” jelas Petrus.
Lebih lanjut Petrus mengungkapkan, MK saat ini mengalami krisis kepercayaan publik gara-gara ulah Anwar Usman.
“Publik melihat fenomena dinasti di dalam pemerintahan yang dibangun atas dasar nepotisme, sebagai sesuatu yang dilarang dan diancam dengan pidana tetapi banyak pihak tidak memperdulikan itu bahkan sudah merasuk pada pimpinan Lembaga Tinggi Negara di Eksekutif dan Yudikatif,” jelas Petrus lagi.
Dia meneruskan, “Akibat hubungan berbasiskan pada dugaan nepotisme, maka publik melihat Anwar Usman dalam mengelola manajemen MK-pun dilalukan secara tidak profesional, menabrak rambu-rambu Hukum Acara, dan tidak membangun perangkat MKMK yang memadai sebagai alat kontrol terhadap MK.”
“Bahkan cenderung menutup diri dari kontrol publik. Misalnya selama ini MK dibiarkan tanpa MKMK, MK dibiarkan tanpa Peraturan MK tentang Majelis Mahkamah Banding, tanpa MKMK banding.” (Gema)