JAKARTA, Koranmadura.com – Direktur Komunikasi Online Tim Mahfud MD (MMD), Savic Ali, mengatakan, saat itu hukum hanya digunakan untuk menggolkan tujuan tertentu. Lembaga hukum jadi semacam stempel bagi penguasa seperti pada zaman orde baru (Orba).
Padahal, kata aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU) ini, satu hal yang jadi konsen gerakan reformasi 1998 adalah hukum. bagaimana hukum bisa mengembalikan rasa keadilan masyarakat.
“Saya sedih di akhir Jokowi, tren korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) menguat kembali. Hukum dipakai untuk tujuan tertentu,” kata Savic Ali dalam konferensi pers dan diskusi bertajuk Menanti Putusan MKMK dan Netralitas Aparat di Pilpres 2024 yang digelar Media Center TPN Ganjar-Mahfud di Rumah Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 6 November 2023.
Menurut Savic Ali, dalam kasus putusan MK No 90 PUU-XXI/ 2023 telah terjadi conflict of interest. Dimana Paman, Ketua MK Anwar Usman, meloloskan keponakannya, Gibran, melalui putusannya di MK.
“Saat itu saya sudah menebak dan yakin bahwa gugatan itu akan lolos sebab ada materi lain oleh penggugat lain sudah ditolak. Benar, ternyata sore hari gugatan terakhir diputuskan diloloskan. Saya tidak kaget tapi sedih. Sebab hal itu hanya mengonfirmasi bahwa benar hukum menjadi alat kekuasaan,” kata aktivis mahasiswa 1998 itu.
Menurut Savic yang pada gerakan 1998 menjadi Ketua Famred, ada problem dalam putusan MK No 90 PUU-XXI/2023, dimana warna nepotismenya sangat kuat.
“Hal itu seperti yang banyak dibilang anak zaman sekarang keinginan terwujud karena Ordal alias orang dalam. Jadi putusan MK itu terjadi karena ada orang dalam,” kata dia.
Savic mengatakan, kondisi saat ini bangsa Indonesia sedang bertaruh benar untuk nasib Indonesia 10-20 tahun ke depan. Contohnya soal UU ASN yang menyebutkan militer aktif bisa menempati posisi pejabat ASN.
“Ketika banyak pejabat militer aktif menjabat posisi jabatan sipil maka yang digunakan adalah bahasa yang biasa dikuasai yakni bahasa milter,” kata Savic.
Menurut Savic, sekarang semangat reformasi sedang ditabrak oleh pihak yang berkuasa saat ini.
Sangat kentara terlihat bahwa kalau bisa semuanya satu suara. Lembaga yudikatif, legislatif dan eksekutif harus satu suara menopang kekuasaan. Kalau itu terjadi maka tidak akan ada lagi demokrasi di Indonesia.
“Ironis Jokowi yang berasal dari sipil justru keluar dari semangat reformasi dan malah mengembalikan spirit militer. Bahkan di SBY yang milter saja tidak melakukan itu. Saya sangat kecewa dengan tidak ada kepekaan Jokowi soal ini,” kata Savic Ali. (Gema)