Oleh MH. Said Abdullah
Di tengah kegalauan masyarakat menyaksikan ‘kerikil dalam sepatu’ proses pelaksanaan Pemilu 2024, seperti deklarasi dukungan aparat desa kepada pasangan Capres dan Cawapres tertentu, pencopotan baliho yang sepihak dan entah apalagi, menyelinap kerinduan kepada kepemimpinan Presiden Megawati.
Di masa kepemimpinan presiden kelima itu, pelaksanaan Pilpres yang pertama kali dilaksanakan secara langsung berjalan sangat demokratis.
Jauh dari hiruk pikuk keluh kesah masyarakat, termasuk para pihak yang menjadi bagian langsung konstestasi.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang bisa jadi salah satu tokoh yang ‘galau’ melihat suasana politik belakangan ini tidak ragu membandingkan dengan menyebut Presiden Megawati kala itu sebagai Presiden Indonesia paling demokratis.
Menurut JK, panggilan akrab Jusuf Kalla, sebagai Presiden, Megawati membiarkan seluruh proses pelaksanaan Piplres berjalan sesuai koridor perundang-undangan.
Penilaian JK, jelas tidak sedang beretorika apalagi main-main. JK menuturkan Megawati merupakan presiden paling demokratis. Megawati tidak menggunakan kekuasaannya untuk berkuasa kembali.
“Ibu Mega, sebenarnya dari semuanya yang paling demokratis karena pada saat dia berkuasa, dia tidak memakai kekuasaan untuk berkuasa tahun 2004 sehingga saya dan Pak SBY mengalahkan Ibu Mega,” tutur JK, seperti diberitakan berbagai media.
Ketinggian moral demokrasi Ibu Megawati makin terlihat ketika dirinya pada saat itu praktis ‘dikerjai’ oleh salah satu Capres, yang kurang bersikap terbuka.
Namun, kekecewaan Ibu Megawati sama sekali jauh dari diekspresikan melalui penggunaan kekuasaan yang dipegangnya untuk merecoki dan mengganggunya.
Megawati justru makin sungguh-sungguh mengawal pelaksanaan Pilpres 2004 agar berjalan demokratis jauh dari ambisi pribadinya untuk menggunakan tangan-tangan kekuasaan.
Sebagai Presiden bisa saja Ibu Megawati menggunakan kekuasaannya untuk mengebiri demokrasi melalui penggunaan alat kekuasaan untuk memenangkan dirinya.
Apalagi, saat itu merupakan Pilpres pertama, yang dilaksanakan secara langsung sehingga relatif lebih mudah untuk memanfaatkan kekuasaan.
Sungguh jiwa kenegarawanan Ibu Megawati jauh lebih mengemuka dibanding mengekspresikan keinginan berkuasanya.
Bagi Ibu Megawati, mewujudkan Indonesia menjadi negara demokrasi, setelah sekian puluh tahun terkungkung rezim Orde Baru, jauh dan jauh lebih penting dibanding kepentingan dirinya.
Secara politik pun, saat itu partai yang dipimpinnya memiliki modal sangat besar. Namun, lagi-lagi Megawati, yang saat itu ikut konstestasi Pilpres, lebih memilih meningkatkan kualitas demokrasi menjadi lebih baik sebagai amanah reformasi 1998.
Megawati menjaga amanat reformasi yang telah mengorbankan penderitaan rakyat sangat besar, baik air mata maupun korban nyawa termasuk di dalamnya beberapa mahasiswa, pada saat perubahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi.
Pernyataan JK yang mengingatkan tentang ketauladanan berdemokrasi dari Ibu Megawati merupakan peringatan dan pembelajaran berharga bagi siapa pun yang hidup di era saat ini, yang kebetulan memegang tampuk kekuasaan.
Bahwa reformasi untuk mewujudkan demokrasi menjadi lebih baik, jangan sampai dikebiri, dirusak, dihancurkan hanya demi kepentingan pribadi, kelompok dan sebagainya.
Rakyat Indonesia telah merasakan sendiri bagaimana jelaga dan kendala, penderitaan fisik dan psikis di masa sebelum reformasi ketika ekspresi politik dan aspirasi dibungkam memanfaatkan tangan-tangan kekuasaan secara sistematis dan massif pada seluruh sektor kehidupan.
Jangan lagi luka lama itu terjadi lagi dalam pelaksanaan Pemilu 2024, yang akan membuat demokrasi menjadi set back ke masa lalu, hanya demi syahwat kekuasaan pribadi dan kelompok.
Merusak demokrasi saat ini, sungguh saat berbahaya karena akan berhadapan langsung dengan kekuatan rakyat, yang tidak ingin kembali ke masa-masa kelam Orde Baru.
Marilah, terus melaksanakan amanat reformasi, agar negeri ini menjadi lebih baik dan lebih baik lagi dalam berdemokrasi. Insya Allah. ***