JAKARTA, Koranmadura.com – Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengaku pernah dimarahi Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan karena mengusut kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik atau E-KTP yang menjerat ketua DPR ketika itu, Setya Novanto.
Cerita itu disampaikan dalam wawancaranya dengan Rosiana Silalahi dari Kompas TV. Video pernyataan Agus Rahardjo dalam wawancara tersebut viral di media sosial, sebagaimana dilihat pada Jumat 1 Desember 2023.
Agus Rahardjo bercerita bahwa dia pernah dipanggil seorang diri oleh Presiden Jokowi ke Istana. Saat itu, Agus Rahardjo datang tidak melalui jalan biasanya tetapi lewat pintu kecil dari masjid. Ketika tiba di Istana, Presiden Jokowi didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
“Saya terus terang, pada waktu kasus E-KTP, saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno. Jadi saya heran, biasanya manggil berlima, ini kok sendirian,” cerita Agus.
Dia meneruskan, “Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan, tetapi lewat pintu masjid kecil itu. Jadi keluar dari sana.”
“Jadi di sana, begitu saya masuk, presiden sudah marah. Presiden sudah marah menginginkan, karena baru bisa masuk. Dia teriak, hentikan. Saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk, saya baru tahu ternyata yang disuruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov (Setya Novanto),” cerita Agus Rahardjo lebih lanjut.
Lebih jauh Agus Rahardjo mengaku bahwa permintaan Presiden Jokowi itu bermaksud untuk menghentikan penyidikan kasus E-KTP yang menimpa Setya Novanto. Hanya saja, Agus tidak dapat memenuhi keinginan Presiden Jokowi itu.
Pasalnya, KPK sudah menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) dan KPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan SP3 sebuah kasus, termasuk pada kasus E-KTP ini.
“Nah, Sprindik itu kan sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu dari presiden bicara itu. Sprindik itu tidak mungkin (dicabut), karena KPK tidak mempunyai SP3. Tidak mungkin saya berhentikan, saya batalkan,” jelas Agus Rahardjo lagi.
Dia menambahkan, “Kemudian karena tugas di KPK seperti itu, maka saya tidak perhatikan. Saya jalan terus. Tapi kan akhirnya dilakukan revisi undang-undang. Intinya kan revisi undang-undang itu SP3 menjadi ada, kemudian (KPK) di bawah presiden.”
“Mungkin pada waktu itu presiden merasa bahwa ini Ketua KPK diperintah presiden kok nggak mau. Mungkin begitu,” imbuhnya.
Menurut Agus, revisi UU KPK berawal dari kemarahan Presiden Jokowi pada pengusutan kasus E-KTP. Dan, penggiringan opini untuk merevisi UU KPK itu dilakukan menggunakan tangan-tangan buzzer.
“Anda juga perlu pahami, buzzer itu bukan main memainkan ini. KPK itu dikatakan sarang Taliban. Sehingga, civil society yang menentang revisi UU KPK itu sangat-sangat sedikit,” paparnya lagi.
Dia meneruskan, “Teman-teman saya seperti Pak Imam Prasodjo tidak datang waktu itu karena mereka merasa ini KPK sudah seperti Taliban. Seolah-olah omongannya buzzer itu betul. Revisi UU KPK kemudian terjadi. Anda kemudian melihat, di periode kedua ini kan yang nama corruption perception Index itu kan turun terus menerus.”
Agus Rahardjo mengungkapkan cerita tentang kemarahan Presiden Jokowi itu baru diungkapkannya kepada media dalam wawancara tersebut. Dia tidak pernah membuka aib itu ke media sebelumnya, kecuali ke beberapa teman dekat. (Gema)