JAKARTA, Koranmadura.com – Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo–Mahfud MD menegaskan, mereka berdiri bersama para relawan Ganjar-Mahfud yang menjadi korban kekerasan oleh oknum TNI di Boyolali, Jawa Tengah.
Karena itu TPN bergerak dan memberi pendampingan hukum sampai tuntas, serta mengutuk segala bentuk intimidasi dan kekerasan agar peristiwa serupa tak terulang lagi dalam rangkaian proses pesta demokrasi Pemilu 2024.
Pernyataan tegas itu disampaikan Ketua TPN Ganjar Pranowo – Mahfud MD, Arsjad Rasjid, dalam konferensi pers di Media Lounge TPN Ganjar-Mahfud, Cemara, Menteng, Jakarta, Senin, 1 Januari 2024.
Arsjad didampingi Wakil Ketua TPN Jenderal TNI (Purn) Andika Perkasa, Deputi Hukum TPN Todung Mulya Lubis, anggota Kedeputian Hukum TPN Firman Jaya Daeli, Ketua Tim Penjadwalan TPN Aria Bima, dan Deputi Kanal Media TPN Karaniya Dharmasaputra.
“Bagi kami, relawan dan pendukung adalah keluarga besar TPN Ganjar-Mahfud. Setiap tindak kekerasan yang menimpa pada satu orang, sakitnya dirasakan oleh semuanya,” kata Arsjad Rasjid.
Dia meneruskan, “Kita lihat sendiri bagaimana capres Ganjar Pranowo langsung mengunjungi dan menguatkan korban beserta keluarganya, kemarin. Itulah wujud dan tanggung jawab Ganjar sebagai pemimpin.”
Arsjad menegaskan, TPN percaya netralitas TNI/Polri pada Pemilu 2024 seperti disampaikan Panglima TNI dan Kapolri.
“Mari kita kawal amanat pesta demokrasi agar berjalan bersih, adil bermartabat, dan membawa kesejahteraan bagi rakyat,” ujarnya.
Dia meneruskan, “Untuk para pendukung Ganjar-Mahfud, tetap tenang, jangan terprovokasi. Setiap perbedaan pendapat sebaiknya selesaikan dengan diskusi konstruktif, bukan dengan kekerasan.”
Wakil Ketua TPN Jenderal TNI (Purn) Andika Perkasa menyampaikan apresiasi kepada Panglima TNI dan KSAD yang memberi respon cepat peristiwa ini dengan langsung memerintahkan pemeriksaaan terhadap terduga tersangka pelaku kekerasan.
“Kami yakin, Panglima TNI dan KSAD akan terus mengawal agar proses hukum tidak melenceng dari kejadian sebenarnya,” kata Andika yang juga mantan Panglima TNI tersebut.
Pensiunan jenderal bintang empat tersebut memaparkan, pihaknya melihat ada pasal-pasal yang bisa dikenakan kepada pelaku, antara lain Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dengan korban mengalami luka berat, Pasal 170 KUHP tentang melakukan tindak kekerasan secara bersama-sama, dan Pasal 56 KUHP tentang memberikan bantuan pada upaya melakukan kejahatan.
Selain itu, juga dimungkinkan jeratan Pasal 333 KUHP yakni menyekap sehingga merampas kemerdekaan orang lain sehingga menyebabkan luka berat. Delik-delik tersebut memiliki ancaman hukuman 5-8 tahun pidana penjara.
“Kami akan kawal sehingga terwujud keadilan seadil-adilnya, dimulai dari pemyampaian berkas perkara kepada oditur agar jangan sampai ada pasal-pasal yang terlewat,” tegasnya.
Sementara Deputi Hukum TPN Todung Mulya Lubis menggarisbawahi, penanganan ‘Tragedi Boyolali’ secara profesional adalah ujian integritas Pemilu.
Dunia internasional, kata dia, melihat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dunia menjalankan pemilu yang tidak cacat dan bermasalah.
“Legal process is on trial. Peristiwa Boyolali ini sangat serius. Jangan sampai penanganan kasus ini menimbulkan noda dalam demokrasi kita,” urainya.
Todung merujuk Undang Uundang No.39/1999 Pasal 9 yang menyatakan setiap orang berhak untuk hidup tenteram, aman, damai, dan dalam hal ini tidak mengalami penganiayaan seperti yang terjadi di Boyolali.
“Kami berkomunikasi dengan Komnas HAM dan kemungkinan akan melaporkan insiden tersebut,” ujar Todung.
Hal senada disampaikan Firman Jaya Daeli. “Kami berharap penyelesaian hukum kasus ini berlangsung secara cepat dan transparan, untuk mengembalikan kepercayaan dan harapan publik pada kredibilitas proses Pemilu, khususnya Pilpres,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Aria Bima menegaskan bahwa ‘Tragedi Boyolali’ bukan merupakan ekses dari demokrasi.
“Ini adalah pelecehan terhadap demokrasi. Jangan sampai terjadi lagi di masa kampanye terbuka yang dimulai pada 21 Januari – 10 Februari mendatang,” katanya.
Aria Bima menekankan jangan sampai demokrasi kita mundur ke belakang dan kembali ke titik nol. Untuk itu, anomali-anomali untuk membalikkan jarum demokrasi yang sudah terkonsolidasi menjadi maju tak bisa dibiarkan, harus dilawan.
“Ini bukan persoalan Ganjar, Mahfud, partai pengusung, Tim Kampanye Nasional atau Tim Kampanye Daerah, tapi persoalan demokrasi yang harus kita jaga,” tegasnya.
Adapun Karaniya menyatakan bahwa ‘Tragedi Boyolali’ menunjukkan bahwa tekanan dan intimidasi pada Pemilu 2024 tak hanya dialami oleh mereka yang berusia 30 tahu ke atas, tapi justru diarahkan juga kepada anak-anak muda yang akan jadi penentu pilpres ke depan.
“Inilah saatnya Gen Z dan Milenial bersuara dan tak hanya diam. Jangan sampai kekerasan brutal yang terjadi di Boyolali menjadi wajah Indonesia ke depan. TPN Ganjar-Mahfud akan berjuang mewujudkan wajah Indonesia lebih baik tanpa kekerasan,” pungkasnya. (Gema)